Apabila seorang Muslim akan menikah
dengan seorang wanita yang berstatus Ahli Kitab, maka ia tetap harus memenuhi
rukun-rukun pernikahan sebagaimana pada pernikahan kaum Muslimin pada umumnya.
Diantara rukun tersebut adalah adanya dua saksi yang adil. Namun yang menjadi
permasalahan, apakah dua orang yang menjadi saksi tersebut diharuskan berstatus
Muslim? Maka dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua perdapat[1]:
1. Disyaratkan dua saksi tersebut harus berstatus
Muslim.
Adapun dalil yang mereka gunakan adalah sabda
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang berbunyi,
لا نكاح إلا بولي، وشاهدي عدل.
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan
dua saksi yang adil.“[4]
Dengan hadits di atas mereka
beralasan bahwa hal ini berlaku pada pernikahan seorang Muslim (baik suami-isteri
berstatus Muslim atau hanya suaminya saja), maka tidak diperbolehkan
melaksanakan akad dengan dua saksi yang berstatus dzimmi.[5]
Menurut Imam Muhammad dan Imam Zafar
bahwa yang dimaksud ‘adil[6] dalam hadits tersebut adalah ‘adil
dalam agama. Karena persaksian (menurutnya) merupakan syarat diperbolehkan
seseorang melaksanakan akad, dan akad bergantung kepada dua sisi, yaitu suami
dan isteri. Adapun persaksian tidak mungkin terwujud dari dua sisi, karena
persaksian non-Muslim merupakan hujjah bagi non-Muslim, dan bukan hujjah bagi
orang Muslim.[7]
2. Tidak ada persyaratan bahwa dua orang saksi harus
dari kalangan Muslim, akan tetapi diperbolehkan dengan persaksian dua orang
dzimmi.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf.[8] Adapun dalil mereka adalah:
a. Firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى
وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat.“[9]
b. Sabda Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-,
تزوجوا و لا تطلقوا
“Menikahlah kalian dan jangan melakukan talak….” [10]
Dalam ayat dan hadits ini tidak
disebutkan adanya saksi. Adapun secara ijma’ bahwa syarat dua orang
saksi harus dari kalangan Muslimin jika terjadi pada pernikahan antar Muslim.
Maka barangsiapa yang menganggap bahwa hal itu merupakan syarat pada pernikahan
antara seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab, maka agar mendatangkan dalil
yang menyatakan hal tersebut.[11]
c. Adapun hadits yang menjelaskan bahwa tidak ada
nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi, menunjukkan tentang
diperbolehkannya melakukan pernikahan antara Muslim dengan Ahli Kitab dengan
persaksian dua saksi Ahli Kitab (dzimmi). Hal ini dikarenakan yang
disebut dengan persaksian secara bahasa adalah ungkapan pemberitahuan dan
penjelasan kepada orang lain. Dalam hal ini dibutuhkan adanya akal, lisan dan
ilmu, dan hal itu semuanya terdapat pada non-Muslim.[12]
Adapun pendapat yang rajih dari
kedua pendapat di atas adalah pendapat yang diungkapkan oleh kalangan madzhab
Hanbali dan asy-Syafi’i serta orang-orang yang sependapat dengan mereka, yaitu
bahwa salah satu syarat bagi seorang saksi pada pernikahan antara seorang
Muslim dengan Ahli Kitab adalah berstatus Muslim. Hal ini disebabkan hadits
yang berbunyi, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua
saksi yang adil.“ Menunjukkan tentang ke-’adalah-an pada saksi yang
berstatus Muslim. Dan hadits tersebut tidak membatasi bahwa syarat ini berlaku
hanya pada pernikahan antara Muslim dengan Muslimah. Sehingga persyaratan ini
berlaku pula pada pernikahan antara seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab.[13] Wallaahu ta’ala a’lam bis shawwab.
[1]DR. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal
fie Ahkaam al-Mar’ah, (Beirut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1413H/993M), cet.
Ke-1, juz VII, hal. 27.
[2]Imam Muhammad dan Imam Zafar adalah
shahabat Imam Abu Hanifah.
[3]Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,
(Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H/2004 M), juz IX, hal. 123.
[4]HR. Daar al-Quthni, dalam kitab: Nikah,
(hadits no. 3491, 3492, 3493, 3494); al-Baihaqi, dalam bab: Tidak Ada Nikah
Kecuali Dengan Adanya Dua Saksi yang Adil, (hadits no. 13418, 13419); dan
Abdurrazzak, dalam kitab: Nikah, bab: Nikah Tanpa Wali, (hadits no. 10473).
[5]Ibnu Qudamah, loc.cit.
[6]Imam an-Nawawi t menjelaskan bahwa ‘adil
(‘adalah ) secara dhahir terwujud apabila seseorang menjauhi dosa-dosa
besar, dan berusaha meninggalkan dosa-dosa kecil. (Lihat: Muhyidin an-Nawawi, op.cit.,
juz XVII, hal. 360). Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi t menambahkan bahwa
orang fasik, seperti orang yang berzina, minum khamr, makan riba, maka tidak
diperbolehkan menjadi saksi. (Lihat: Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj
al-Muslim, (Kairo: Daar as-Salam), cet. Ke-4, hal. 338).
[7]DR. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz VII, hal. 28.
[8]DR. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz VII, hal. 27, dan Ibnu Qudamah, op.cit., juz IX, hal.123.
[9]QS. an-Nisaa’ : 3.
[10]DR. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz VII, hal. 28.
[11]Ibid.
[12]DR. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz VII, hal. 29.
[13]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar