Sebagaimana diuraikan pada
pembahasan sebelumnya, bahwa pernikahan antara seorang Muslimah dengan
laki-laki non-Muslim, baik dari kalangan Ahli Kitab ataupun musyrik, maka
jumhur ulama bersepakat menyatakan hukumnya haram, tidak sah.
Akan tetapi apabila pernikahan
tersebut dilakukan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab,
maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Apakah seorang Muslim diperbolehkan
menikahi wanita Ahli Kitab secara umum? Atau hanya diperbolehkan menikahi
wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi saja? Maka dalam permasalahan ini,
penulis akan membagi pembahasan ini menjadi dua, yakni hukum menikahi wanita
Ahli Kitab dari Darul Islam dan hukum menikahi wanita dari Darul Harbi. Berikut
penjelasannya:
Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab di Darul Islam
Yang dimaksud dengan Darul
Islam adalah suatu negeri yang mana di dalamnya orang-orang Islam memiliki
kekuasaan penuh dan di dalamya ditegakkan serta diterapkan hukum-hukum Islam.[1]
Dalam masalah pernikahan
antara seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi, maka
ulama terbagi menjadi tiga pendapat, yaitu:
1. Diperbolehkan menikahi wanita-wanita Ahli
Kitab yang berstatus dzimmi.
Ini merupakan pendapat jumhur
ulama, baik salaf maupun khalaf. Mereka memperbolehkan bagi seorang Muslim
menikah dengan Ahli Kitab secara mutlak tanpa adanya persyaratan apapun.[2]
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:
a. Firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
اليَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ
لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُم
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu.“ [3]
Adapun yang dimaksud dengan الْمُحْصَنَاتُ
pada ayat di atas adalah wanita-wanita yang merdeka (bukan budak) dan
yang mampu menjaga kehormatan (kesucian dirinya) dari perbuatan zina.[4] Hal ini dimaksudkan agar seorang muslim
hendaknya mengawini wanita-wanita yang mampu menjaga kehormatan dirinya karena
akan mewujudkan kasih sayang dan kelembutan antara suami dan isteri dan
menciptakan ketenangan dan ketentraman.[5]
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurahman bin
‘Auf –radhiyallaahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah –shallallaahu
‘alahi wa sallam- pernah bersabda tentang orang-orang Majusi, “Hukumilah
mereka sebagaimana halnya Ahli Kitab, kecuali dalam masalah pernikahan dengan
wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan mereka.“[6]
Maka Imam ar-Razi –rahimahullaahu
ta’ala- mengatakan, “Seandainya menikahi wanita Ahli Kitab tidak
diperbolehkan, maka pengecualian ini tidak ada gunanya (tidak akan
disebutkan).”[7]
c. Para shahabat mengawini wanita-wanita ahlu
dzimmah. Seperti ‘Utsman t yang mengawini Na’ilah binti al-Faraafishah
al-Kalbiyah yang beragama Nasrani kemudian dirinya masuk Islam. Hudzaifah –radhiyallaahu
‘anhu- dengan wanita Yahudi penduduk Mada’in.[8] Begitu juga dengan Jabir –radhiyallaahu
‘anhu- ketika ditanya tentang (hukum) pernikahan antara seorang Muslim
dengan Yahudi dan Nasrani, maka ia berkata, “Kami mengawini mereka ketika kami
mengadakan peperangan di Kuffah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash, dan (ketika itu)
kami hampir tidak mendapatkan wanita-wanita muslimah. Ketika kami akan
mengadakan perjalanan (pulang) dari Irak, kami menceraikan mereka. Dihalalkan
wanita-wanita mereka bagi kita, akan tetapi tidak dihalalkan wanita-wanita kita
(muslimah) bagi (laki-laki) mereka.” [9]
Adapun alasan diperbolehkan
bagi seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab karena keduanya memiliki
kesamaan dalam masalah keimanan pada sebagian hal-hal yang bersifat asasi
(pokok), yaitu pengakuan terhadap Illah, keimanan terhadap para Rasul dan hari
Akhir, termasuk hisab dan balasan terhadap segala amal perbuatan. Dengan adanya
kesamaan dan jembatan yang dapat menghubungkan dasar-dasar antara dua agama,
maka kemungkinan besar akan tercapai kehidupan yang istiqamah (lurus) dan
tenang. Selain itu juga diharapkan keislaman seorang wanita Ahli Kitab tersebut
karena keimanannya terhadap kitab-kitab para Nabi dan Rasul.[10] Wallahu musta’an.
2. Dimakruhkan menikahi wanita-wanita dari
kalangan Ahli Kitab.
Ini merupakan pendapat
kalangan madzhab Hanafi dan asy-Syafi’i.[11] Adapun hujjah mereka bahwasanya Umar –radhiyallaahu
‘anhu- pernah berkata kepada para shahabatnya yang menikah dengan wanita
Ahli Kitab, “Talaklah mereka!” Maka merekapun mentalaknya, kecuali Hudzaifah –radhiyallaahu
‘anhu-. Lalu Umar –radhiyallaahu ‘anhu- berkata kepadanya
(Hudzaifah), “Talaklah ia!” Dia (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia
(wanita Kitabiyah) itu haram?” Umar –radhiyallaahu ‘anhu- berkata,
“Dia itu khamrah[12] (peminum khamr), maka talaklah
dia.” Hudzaifah berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu
haram?” Umar berkata, “Dia itu khamrah.” Hudzaifah mengatakan, “Saya
mengetahui bahwa dia itu khamrah, akan tetapi dia halal bagiku.” Akan
tetapi tidak lama setelah itu Hudzaifah mentalaknya. Maka ada seseorang yang
bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh Umar?”
Hudzaifah mengatakan, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku
berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku.” Atau karena barangkali
hati Hudzaifah cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu), lalu dia terfitnah
oleh wanita itu, atau barangkali antara keduanya ada anak, sehingga dirinya
cenderung kepada wanita kitabiyah tersebut.”[13] Dalam riwayat yang lain Umar –radhiyallaahu‘anhu-
mengatakan, “Diriku khawatir seandainya kalian meninggalkan wanita Muslimah dan
menikahi wanita pelacur.” [14]
Disamping itu, mereka memakruhkan pernikahan
Muslim dengan wanita-wanita Ahli Kitab karena beberapa alasan, diantaranya:
a. Dikhawatirkan wanita tersebut akan membawa
fitnah, baik bagi dirinya ataupun agamanya.[15]
b. Wanita Ahli Kitab tidak mengimani risalah yang
dibawa oleh Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-. Dikhawatirkan
mereka bisa memalingkan kaum Muslimin dari dien mereka.
c. Dikhawatirkan wanita Ahli Kitab akan
menjerumuskan anak-anak kaum Muslimin kepada jurang kekafiran atau
memperkenalkan budaya-budaya Nasrani, karena seorang ibu adalah madrasah yang
pertama bagi anak-anaknya. Seperti menyembah Nabi ‘Isa –‘alahi as-salaam-,
ke gereja, merayakan pesta Natal dan lain-lain. Maka hal ini akan
memperparah kondisi anak-anak suatu saat nanti.
Walaupun kalangan madzhab
asy-Syafi’i memakruhkan, akan tetapi mereka memperbolehkan bagi seorang Muslim
menikahi wanita Ahli Kitab dengan beberapa persyaratan, diantaranya:
a. Hanya wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi
saja yang diperbolehkan untuk dinikahi. Karena wanita yang berstatus harbi akan
menimbulkan banyaknya fitnah pada laki-laki Muslim.[16]
b. Wanita tersebut dari kalangan Yahudi dan
Nasrani, dan bukan wanita yang tidak berpegang kepada kitab Zabur dan shuhuf
yang lainnya, seperti shuhuf Syits, Idris dan Ibrahim –‘alaihi
salaam-.[17]
3. Dilarang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab
secara mutlak.
Ini merupakan pendapat
sebagian ulama. Mereka berdalil dengan atsar yang diriwayatkan dari
Nafi’, bahwa Ibnu Umar –radhiyallaahu ‘anhuma- pernah ditanya mengenai
pernikahan dengan wanita Kitabiyyah, maka beliau menjawab,
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْمُشْرِكَاتِ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا أَعْلَمُ مِنْ الْإِشْرَاكِ شَيْئًا أَكْبَرَ مِنْ
أَنْ تَقُولَ الْمَرْأَةُ رَبُّهَا عِيسَى وَهُوَ عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman dan aku tidak pernah
mengetahui sesuatu yang lebih besar (dosanya) pada kemusyrikan melebihi seorang
wanita yang mengucapkan bahwa Rabb-nya adalah Isa, padahal dia adalah seorang hamba
dari hamba-hamba Allah.“[18]
Ini juga merupakan pendapat
Syi’ah Imamiyyah Ja’fariyah. Mereka melarang bagi seorang Muslim menikah dengan
wanita-wanita merdeka dari kalangan Ahli Kitab hanya dalam pernikahan yang
langgeng (selamanya). Akan tetapi mereka menghalalkan pada pernikahan yang
sifatnya sementara (mut’ah).[19] Hal ini dikarenakan adanya kemampuan
untuk menikahi wanita Muslimah.[20] Mereka berhujjah dengan menggunakan
firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir.“[21]
لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء
“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).“ [22]
Alasan mereka juga, bahwa
kitab mereka telah dihapus dan hukum-hukum yang ada di dalamnya telah dirubah.
Sehingga mereka diibaratkan tidak memiliki kitab.[23]
Pendapat yang rajih:
Pendapat yang rajih (benar)
dalam masalah ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur Ulama, yaitu
dihalalkan bagi seorang Muslim untuk menikah dengan wanita Ahli Kitab yang
berstatus dzimmi, karena beberapa alasan. Diantaranya:
- Pendapat yang melarang pernikahan Muslim dengan wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi di luar pendapat mayoritas ulama, yang berlandaskan pada argumentasi yang yang kuat.[24]
- Para shahabat dan tabi’in menghalalkan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab. Diantara mereka adalah ‘Utsman, Thalhah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Hudzaifah –radhiyallaahu ‘anhum-. Adapun dari kalangan tabi’in diantaranya Sa’id bin al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah, asy-Sya’bi, Dhahak dan ahli fiqih yang lain.”[25]
- Sebagian kalangan berpendapat bahwa Ahli Kitab pada masa sekarang ini sudah tidak ada lagi, seiring dengan sudah tidak murninya kitab suci mereka. Pendapat ini memang bisa dibenarkan. Akan tetapi yang perlu kita ketahui, bahwa perbuatan memalsu isi kitab suci, memutar-balik ayat dan bahkan menyelewengkannya sudah terjadi sejak sebelum diutus Nabi Muhammad –shallallaahu ‘alahi wa sallam-. Bahkan salah satu hikmah diutusnya Nabi Muhammad –shallallaahu ‘alahi wa sallam- justru karena sudah dipalsukannya kitab-kitab suci yang turun sebelumnya.
Al-Quran tidak berbicara
tentang kesesatan mereka untuk masa sekarang ini saja. Al-Quran memberikan
ancaman bagi Ahli Kitab karena telah merusak keaslian kitab suci, bukan terjadi
pada masa kita sekarang ini saja, melainkan karena hal itu sudah terjadi pada
masa Nabi Muhammad –shallallaahu ‘alahi wa sallam- dan bahkan sebelum
lahirnya beliau. Artinya, tidak tepat kalau kita menyimpulkan bahwa Yahudi dan
Nasrani pada masa Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam- tidak
memalsukan kitab suci, sehingga wanita mereka halal dinikahi. Dan juga tidak
tepat bila dikatakan bahwa wanita Yahudi dan Nasrani pada zaman sekarang ini
haram dinikahi karena baru sekarang ini mereka memalsu kitab suci.
Namun yang benar (insyaAllah)
adalah bahwa Yahudi dan Nasrani sudah memalsukan kitab suci, merusak isinya,
menodainya, bahkan menjualnya dengan harga yang sedikit sejak sebelum al-Quran
ini diturunkan. Namun ketika al-Quran ini turun, di dalamnya menyebutkan
tentang diperbolehkan bagi laki-laki Muslim untuk menikahi wanita Ahli Kitab.
Adapun Paman Khadijah yang
beragama Nasrani yang masih menggunakan Injil yang asli, tentu tidak
mencerminkan bahwa semua pemeluk Nasrani di masa itu masih memegang Injil asli.
Sebab pada masa sekarang ini pun masih ada sekelompok Nasrani tertentu yang
disebut-sebut masih menggunakan Injil yang ‘asli’. Misalnya Injil Barnabas.
Keberadaan pemeluk Nasrani pada masa sekarang yang menggunakan Injil Barnabas
tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa orang Nasrani pada masa sekarang masih
menggunakan Injil asli.
Sementara al-Quran dengan
tegas mengkafirkan pemeluk agama Nasrani, lepas dari urusan keaslian Injil
mereka, yaitu karena mereka telah menuhankan Nabi Isa –‘alaihi salaam-
atau telah mengatakan bahwa Tuhan itu tiga. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah
dalam firman-Nya,
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَآلُواْ إِنَّ
اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ.
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam’.” [26]
Dalam firman-Nya yang lain,
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ
اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَة.
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’, padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.“[27]
Sejak masa Nabi Muhammad –shallallaahu
‘alahi wa sallam- masih hidup, orang-orang Nasrani ketika itu sudah
mengubah Injil, menyembah Nabi Isa –‘alaihi as-salaam- dan menganut
ajaran trinitas. Dan ketika itu pula, al-Quran memperbolehkan laki-laki Muslim
menikahi wanita Nasrani. Jadi hampir tidak ada bedanya antara kerusakan
orang-orang Nasrani pada masa Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-
dengan masa sekarang. Yang sekarang pun mengubah Injil, menyembah Nabi Isa –‘alaihi
as-salaam- dan menganut ajaran trinitas. Lalu mengapa hukumnya harus
dibedakan?.
Akan tetapi, setelah adanya
suatu pertimbangan akan maslahat dan madharat berkenaan tentang pernikahan
antara seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab, maka penulis memberikan
kesimpulan bahwasanya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang
Muslim dan seorang wanita Ahli Kitab ketika mereka akan melangsungkan
pernikahan. Diantara persyaratan tersebut adalah:
- Seorang Muslim yang hendak menikah dengan wanita Ahli Kitab, hendaknya dirinya memiliki aqidah yang kokoh, memahami ilmu-ilmu syari’at dan akhlak yang baik. Sehingga dengan hal itu semua, ia mampu membentengi dirinya dalam mengarungi bahtera rumah tangganya bersama dengan isteri dan anak-anaknya. Disamping itu, ia mampu untuk mengarahkan isterinya kepada cahaya Islam, dan tidak ada kekhawatiran baginya dan anak-anaknya untuk menyimpang dari agama Islam dan berpindah kepada Ahli Kitab.
- Hendaknya seorang wanita Ahli Kitab tersebut termasuk wanita yang mampu menjaga iffah (kehormatan) dan kesucian dirinya, serta tidak pernah mengumbar aurat di depan laki-laki asing yang bukan menjadi mahramnya.
- Hendaknya seorang wanita Ahli Kitab tersebut berstatus merdeka, bukan budak.
Apabila seorang Muslim dan
wanita Ahli Kitab memiliki beberapa kriteria di atas, maka (insyaAllah)
diperbolehkan bagi keduanya untuk melakukan pernikahan. Wallahu
ta’ala a’lam bi ash-shawab.
Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab dari Darul Harbi (ikhtilaafu ad-darain)[28]
Adapun yang dimaksud dengan
Darul Harbi adalah negeri yang kaum Muslimin tidak memiliki kekuasaan atasnya dan
tidak dapat menerapkan hukum-hukum Islam di dalamnya.[29]
Dalam kaitannya dengan masalah
pernikahan seorang Muslim dengan wanita Darul Harbi ini, maka wanita Darul
Harbi ada dua macam, yaitu mereka yang tinggal di Darul Harbi dan mereka yang
mendapatkan jaminan keamanan ketika memasuki Darul Islam untuk keperluan
berdagang atau yang semisalnya, dan ia mempunyai keinginan untuk kembali ke negaranya.
Akan tetapi, dalam masalah hukum pernikahan mereka dengan laki-laki Muslim
tidak ada bedanya.
Dalam permasalahan ini, ulama terbagi menjadi
tiga pendapat:
1. Diperbolehkan bagi seorang Muslim menikah
dengan wanita Ahli Kitab dari Darul Harbi, dan diperbolehkan juga menikah di
dalamnya. Akan tetapi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang
Muslim tersebut, yaitu:
a. Dirinya tidak khawatir jika isterinya akan
menjadi fitnah bagi agamanya.
b. Dirinya juga tidak khawatir jika isterinya
akan menguasai anak-anaknya.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
asy-Syafi’i –rahimahullaahu ta’ala-, “Aku tidak membenci wanita
dari Darul Harbi kecuali jika ditakutkan terfitnah agamanya dan anaknya akan
dikuasai (oleh isterinya).”[30]
Akan tetapi hukumnya menjadi makruh, bahkan haram
apabila:
a. Isterinya atau kaumnya akan memfitnah
agamanya.
b. Isterinya akan menguasai anaknya.
c. Isterinya akan dijadikan sebagai tawanan
perang karena Darul Harbi adalah daerah peperangan dan ghanimah.[31]
2. Dimakruhkan.
Ini merupakan pendapat kalangan madzhab
asy-Syafi’i, Maliki, Hanbali.[32]
Adapun alasan mereka sebagaimana dikatakan oleh
Imam asy-Syafi’i –rahimahullaahu ta’ala- (pada penjelasan di atas),
dan Imam Malik –rahimahullaahu ta’ala- diantaranya[33]:
a. Isterinya atau kaumnya kemungkinan besar akan
menjadi fitnah bagi agamanya.
b. Isterinya akan berkuasa terhadap anak-anaknya,
sehingga anak-anaknya tersebut akan diarahkan kepada kebiasaan orang-orang
kafir.
c. Isteri dan anak keturunannya akan ditinggalkan
di daerah tersebut. Sehingga suatu saat nanti mereka berkesempatan untuk
dijadikan sebagai tawanan atau ghanimah.
d. Wanita tersebut pasti (kemungkinan besar) akan
berinteraksi dengan khamr (arak) dan babi.
3. Diharamkan bagi seorang muslim menikah dengan
wanita Ahli Kitab dari Darul Harbi secara mutlak.
Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas –radhiyallaahu
‘anhuma-,[34] dan kalangan madzhab Hanafi. Adapun
alasannya bahwa pernikahan dengan seorang wanita yang berada di Darul Harbi
akan membuka pintu fitnah.[35]
Imam Abu Hanifah –rahimahullaahu ta’ala- menjelaskan,
bahwa salah satu penyebab wajibnya seorang isteri diceraikannya dari suaminya
adalah ikhtilaaf ad-darain (jika keduanya berbeda negeri),[36] walaupun agama keduanya sama.[37]
Ibnu Abbas –radhiyallaahu ‘anhuma-
pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab, “Tidak dihalalkan.”
Kemudian beliau membaca firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
]قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ……إلخ (.
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian…sampai akhir ayat.” [38]
Dari beberapa pendapat di
atas, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa pendapat yang rajih
adalah makruh, dan sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini disebabkan bahwa
pernikahan seorang Muslim dengan wanita yang berada di Darul Harbi akan
memberikan beberapa dampak yang sangat negatif. Baik dampak terhadap
masyarakat, negara ataupun agama. Diantara dampak-dampak negatif selain yang
telah disebutkan di atas adalah:
- Bagi negara: Wanita tersebut kemungkinan suatu saat akan membocorkan rahasia negara yang seorang suami tinggal di dalamnya (Darul Islam) kepada negeri kafir. Dan hal ini tentu akan membawa dampak yang buruk bagi negara dan umat Islam yang tinggal di dalamnya.
- Bagi masyarakat: Wanita tersebut akan membahayakan kaum Muslimah dengan perangainya yang tidak baik. Karena terkadang wanita Ahli Kitab akan menularkan perangainya yang buruk. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi bahwa Hudzaifah bin al-Yaman –radhiyallaahu ‘anhu- menikah dengan wanita Yahudi. Maka Umar t kemudian mengirim surat kepadanya agar menceraikan wanita tersebut. Kemudian Hudzaifah membalas, “Apakah wanita tersebut haram bagiku?” Maka Umar menjawab, “Tidak haram, akan tetapi aku khawatir seandainya wanita yang engkau nikahi adalah wanita pelacur.”[39]
- Bagi agama: Wanita Ahli Kitab (terlebih dari Darul Harbi), akan mengarahkan anak-anaknya kepada kebiasaan-kebiasaan orang kafir. Misalnya, minum khamr, makan babi, pesta Natal di gereja, menyembah nabi Isa dan lain-lain. Dan hal ini tentunya akan merusak akhlak dan agama anak yang fitrahnya bertauhid kepada Allah -subhaanahu wa ta’ala-.
Maka hendaknya seorang Muslim
agar menghindari untuk menikah dengan wanita Ahli Kitab yang berada di Darul
Harbi. Seandainya dirinya berkeinginan besar untuk menikah dengan wanita Ahli
Kitab dengan alasan yang dapat diterima, maka hendaknya dia menikah dengan
wanita dzimmi. Akan tetapi hal ini juga harus dengan pertimbangan yang matang. Wallahu
ta’ala a’lam bis shawwab.
[1] DR. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal
fie Ahkaam al-Mar’ah, (Beirut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1413H/993M), cet.
Ke-1, juz XI, hal. 259.
[2] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu
al-Islami wa Adilatuhu, (Beirut: Daar al-Fikr, 1418 H/1997 M), cet. Ke-4,
juz IX, hal 6656.
[3] QS. al-Maidah : 5.
[4] Ibnu Katsir, Tafsiiru al-Qur’aani
al-‘Adziim, (Damaskus: Maktabah Daar al-Fiiha’, 1418 H/1998 M), cet. Ke-2,
jilid II, hal. 30; dan Al-Baihaqi (w. 458 H), As-Sunan al-Kubra,
(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), cet. Ke-3, juz VII, hal. 278.
[5] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,
juz IX, hal 6653.
[6]Dinukil oleh Imam Fakhruddin ar-Raazi
dalam tafsirnya. Lihat: Muhammad ar-Raazi, Tafsiir al-Fakhru ar-Raazi
(atau dikenal dengan at-Tafsiir al-Kabiir wa al-Mafaatiihu al-Ghaib),
(Beirut: Daar al-Fikr, 1995), jilid III, hal. 63.
[7]Ibid.
[8]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, loc.cit.
[9]Muhyidin an-Nawawi, al-Majmuu’
Syarhu al-Muhadzdzab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1425 H/2005 M), juz XVII,
hal. 399.
[10]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, loc.cit.
[11]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,
juz IX, hal. 6654; dan Al-Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj,
(Beirut: Daar al-Ma’rifah, 1418H/1997M), juz III, hal. 249.
[12]Dalam naskah aslinya tertulis ‘jamrah’
yang berarti (bara api). (Lihat: Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,
(Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H/2004 M), juz IX, hal. 311).
[13]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, loc.cit.,
dan Ibnu Qudamah, loc.cit.
[14]Al-Baihaqi, op.cit., juz VII,
hal. 280, (hadits no. 13984).
[15]Al-Khatib asy-Syarbini, loc.cit.
[16] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,
juz IX, hal. 6655.
[17] Al-Baihaqi, op.cit., jilid
VII, hal. 280; Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op.cit., juz IX, hal.
6655; Ibnu Qudamah, op.cit., juz IX, hal. 312; dan Al-Khatib
asy-Syarbini, op.cit., juz III, hal. 249.
[18]HR. al-Bukhari, dalam kitab: Talak,
bab: firman Allah, وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ,
( no. 5285 ).
[19] DR. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz VII, hal. 14.
[20] Muhyiddin an-Nawawi, op.cit.,
juz XVII, hal. 398.
[21]QS. al-Mumtahanah : 10.
[22]QS. al-Maidah : 51.
[23]Muhyiddin an-Nawawi, loc.cit.
[24]Al-Qurthubi, al-Jaami’ lie Ahkam
al-Qur’an, (Kairo: Daar al-Hadits, 2002), jilid ke-II, hal. 62.
[25]Ibid., jilid II, hal. 62-63.
[26] QS. al-Maidah : 17, dan QS. al-Maidah
: 72.
[27] QS. al-Maidah: 73
[28]Yang dimaksud dengan ikhtilaafu
ad-darain adalah jika ada dua negara yang masing-masing negara (daulah)
tersebut memiliki kekuatan militer (tentara) dan hakim yang khusus. Sehingga
antara keduanya tidak ada jaminan perlindungan, yaitu diperbolehkan bagi suatu
negara (daulah) memerangi negara yang lainnya. Atau tetap ada jaminan
perlindungan, akan tetapi antara keduanya tidak saling tolong menolong dan
perwalian. Jika antara kedua negara itu adanya saling tolong menolong dan kerja
sama, maka bukan dinamakan dengan iktilaafu ad-darain, akan tetapi dua
negara itu tetap dihukumi sebagai satu negara. (Lihat: DR. Abdul Karim
Zaidan, op.cit., juz XI, hal. 259)
[29] Ibid.
[30] Muhyidin an-Nawawi, op.cit.,
juz XVII, hal. 401.
[31] Ibid, hal. 401.
[32] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op.cit.,
hal 6654.
[33] Al-Qurthubi, op.cit., jilid
II, hal. 64.
[34] Abu Syaibah, al-Mushannaf fie
al-Ahaadiits wa al-Atsar, (Beirut: Daar al-Fikr, 2008), juz III, hal. 298.
[35] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, loc.cit.
[36] Al-Qurthubi, op.cit., jilid
VII, hal. 315.
[37] Al-Alusi (w. 1270H), Ruuh
al-Ma’aani, (Kairo: Maktabah Taufiqiyyah), jilid XIII, hal. 668.
[38] QS. at-Taubah : 29.
[39] Al-Baihaqi, op.cit., jilid
VII, hal. 280, (hadits no. 13984).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar