Diperbolehkan bagi seorang Muslim
meng-ila’ isterinya yang berstatus dzimmi. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnu Qudamah –rahimahullaahu ta’ala- bahwa seorang
Muslim diperbolehkan meng-ila’ isteri-isterinya, baik yang berstatus
Muslimah ataupun dzimmi, baik yang statusnya merdeka atau budak, karena dalam
hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah –ta’ala- yang
berbunyi,
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ
أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
“Kepada orang-orang yang meng-ila’ isteri-isterinya
diberi tangguh empat bulan (lamanya).“[1]
Karena bagaimanapun juga dirinya berstatus sebagai
isteri, maka diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk meng-ila’nya,
sebagaimana hal itu dilakukan kepada seorang Muslimah yang merdeka.[2]
Menurut an-Nakha’i, Malik, Auza’i
dan al-Syafi’i, bahwa meng-ila’ seorang isteri boleh dilakukan baik
setelah melakukan hubungan badan ataupun sebelumnya. Adapun menurut Atha’,
al-Zuhri dan al-Tsaur, meng-ila’ seorang isteri hanya dibolehkan untuk
dilakukan setelah melakukan hubungan badan.[3]
[1] QS. al-Baqarah : 226.
[2] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,
(Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H/2004 M), juz X, hal. 391.
[3] Ibid., hal. 391-392.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar