Dalam ilmu waris, ada sebab-sebab
yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta warisan.
Diantara sebab-sebab tersebut adalah perbedaan atau berlainan agama. Maksudnya
adalah berbedanya agama yang dianut antara pewaris dengan ahli waris. Seorang
Muslim tidaklah mewarisi dari orang yang bukan Muslim (non-Muslim), begitu pula
sebaliknya seorang yang bukan Muslim tidaklah mewarisi dari seorang Muslim.[1] Hal ini dikarenakan Allah telah
memutuskan hubungan perwalian antara keduanya.[2]
Namun demikian, disebabkan hak kewarisan memiliki
hubungan yang erat dengan permasalahan pernikahan, maka ulama tidak memiliki
pendapat yang sama dalam menyikapi hadits di atas.
Perbedaan pendapat diantara ulama tersebut muncul
karena diantara mereka berbeda dalam memahami konteks ayat ke–5 dari surat
al-Maidah. Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang halalnya wanita dari kalangan
Ahli Kitab yang menjaga kehormatannya.
Tentang non-Muslim tidak dapat menjadi ahli waris dari
seorang Muslim, maka ulama sepakat bahwa hal itu dapat diterima dan sejalan
dengan ketentuan QS. al-Maidah ayat 5 dan hadits Rasulullah di atas. Akan
tetapi dalam permasalahan seorang Muslim yang menjadi ahli waris dari seorang
non-Muslim, maka dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
1. Seorang Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi
pewaris yang berstatus non-Muslim atau murtad, begitu pula sebaliknya. Ini
merupakan pendapat jumhur ‘ulama, diantaranya para shahabat Rasulullah –shallallaahu
‘alahi wa sallam- dari kalangan Khulafa’ al-Rasyidin, yaitu Abu
Bakar, Umar bin al-Khattab, ‘Utsman bin al-Affan, ‘Ali bin Abu Thalib,[3] dan para shahabat yang lain. Adapun
dari kalangan tabi’in diantaranya adalah ‘Amru bin ‘Utsman, ‘Urwah, al-Zuhri,
‘Atha’, Thaawus, al-Hasan, ‘Umar bin ‘Abdul al-‘Aziz. Begitu juga dengan
al-Tsauri, Abu Hanifah dan para shahabatnya, Malik, al-Syafi’i, Ahmad bin
Hambal, dan mayoritas para fuqaha’ yang lain.[4]
Landasan mereka adalah hadits Rasulullah –shallallaahu
‘alahi wa sallam- yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid –radhiyallaahu
ta’ala ‘anhuma-,
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ
وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Seorang Muslim tidak menerima
warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima warisan dari orang
Muslim.“[5]
2. Seorang Muslim bisa menjadi ahli waris bagi
non-Muslim. Sebaliknya, seorang non-Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi
seorang Muslim. Ini merupakan pendapat sebagian ulama diantaranya Mu’awiyah,
Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’, Sa’id bin Musayyib, ‘Ali bin Husein, Ibnu
Hanifah (Muhammad bin al-Hanafiyah), Musruq, al-Nakha’i, al-Sya’bi, Yahya bin
Ya’mar, dan Ishaq.[6]
Akan tetapi pendapat ini tidak bisa disandarkan kepada
mereka sepenuhnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, bahwa Imam
Ahmad mengatakan, “Tidak ada perbedaan (pendapat) diantara manusia (ulama)
bahwa seorang Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi orang kafir.[7]
Adapun yang menjadi dalil mereka adalah:
a. Hadits Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa
sallam-,
الإسلام يعلو ولا يعلى
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi
(darinya).” [8]
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu al-Aswad
ad-Du’ali, beliau berkata, “Suatu ketika Mu’adz berada di Yaman, maka
orang-orang mengadukan suatu perkara kepadanya tentang seorang Yahudi yang
meninggal dunia dan meninggalkan (harta bendanya) untuk saudaranya yang Muslim,
maka Mua’dz menjawab, ‘Sesungguhnya aku mendengar bahwa Rasulullah –shallallaahu
‘alahi wa sallam- pernah bersabda,
الإسلام يزيد، ولا ينقص
‘Islam bertambah dan tidak
berkurang.’ Sehingga pada akhirnya seorang Muslim tersebut
mewarisi harta benda saudaranya yang beragama Yahudi.[9]
3. Diriwayatkan dari ‘Umar, Mu’adz dan Mu’awiyah –radhiyallaahu
ta’ala ‘anhum-, bahwasanya seorang Muslim dapat mewarisi (harta benda)
orang kafir, akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi seorang Muslim.[10]
4. Qiyas (analogy) mereka kepada ketentuan hukum yang
terdapat dalam QS. al-Maidah ayat ke-5, yaitu diperbolehkan bagi laki-laki Muslim
mengawini wanita Ahli Kitab, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi laki-laki
dari kalangan Ahli Kitab menikahi Muslimah. Maka dengan dalil ayat ini, mereka
berpendapat kalau seorang laki-laki Muslim diperbolehkan mengawini wanita Ahli
Kitab, maka seorang Muslim juga dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris
non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab.[11]
Imam an-Nawawi –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan
bahwa pendapat yang rajih dari kedua pendapat di atas adalah pendapat jumhur
ulama.[12] Hal ini ada beberapa sebab, yaitu:
- Dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengatakan bahwa seorang Muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.[13]
- Adapun hadits ) الإسلام يزيد، ولا ينقص (tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk memperbolehkan seorang Muslim menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab karena maksud hadits ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi –rahimahullaahu ta’ala-, adalah keutamaan Islam atas dien yang lain, dan hal ini tidak ada kaitannya dengan masalah warisan.[14] Sedangkan Imam Ibnu Qudamah –rahimahullaahu ta’ala- menjelaskan hadits tersebut maksudnya bahwa Islam ini akan bertambah dengan adanya orang yang masuk Islam dan dengan adanya perluasan wilayah. Dan Islam tidak akan berkurang karena orang yang murtad lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang masuk Islam.[15]
- Kemungkinan hadits) لَايَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ ( belum sampai kepada kalangan yang berpendapat bahwa seorang Muslim bisa menjadi ahli waris bagi Ahli Kitab. Demikian yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi –rahimahullaahu ta’ala-.[16]
- Perlu diketahui bahwa mayoritas ulama tidak menggunakan penafsiran analogy/qiyas, sebab dalam hal waris mewarisi terdapat dalil dari sunnah yang kuat yang sama sekali bertentangan dengan dalil analogy/qiyas. Dan qiyas yang bertentangan dengan nash yang shahih, maka qiyas ini batil.[17] Disamping itu, pendapat yang kedua dianut oleh para khalifah semenjak Mu’awiyah –radhiyallaahu ta’ala ‘anhu- menjadi penguasa, dan berakhir sampai berkuasanya khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –rahimahullaahu ta’ala-. Maka mulai saat itu, beliau mengembalikan masalah tersebut dengan merujuk kepada ajaran sunnah yang pertama kali.[18]
- Bahwasanya waris mewarisi berkaitan dengan perwalian (kekuasaan), maka tidak ada kekuasaan antara seorang Muslim dengan orang kafir,[19] sebagaimana firman Allah –ta’ala-:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain.“[20]
Maka dengan demikian yang dijadikan sebagai dasar
rujukan dalam menentukan sebuah hukum setelah al-Qur’an adalah hadits-hadits
Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- yang shahih.
Dengan demikian, seorang isteri yang bersuami dari
kalangan Ahli Kitab atau seorang anak yang memiliki bapak dari kalangan Ahli
Kitab, maka mereka tidak mendapatkan warisan walaupun sedikit. Adapun jika
seorang Ahli Kitab yang berstatus dzimmi meninggal dunia, dan dirinya tidak
memiliki ahli waris, maka harta bendanya diserahkan kepada Baitul Mal
sebagai fa’i.[21] Wallahu a’lam bish shawwab.
[1] Suhrawadi K. Lubis, S.H. dan Komis
Simanjuntak, S.H., Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
edisi ke-2, cet. Ke-1, hal. 58.
[2] Al-Nawawi, al-Majmuu’ Syarhu
al-Muhadzdzab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1425 H/2005 M), juz XVII, hal. 191.
[3] Ibid. Lihat pula: al-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-Maghfirah, 1420H/1999M), cet. Ke-6, juz XI,
hal. 53; Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri (wafat th.
1353H), Tuhfatu al-Ahwadzii, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah), juz V,
hal. 617; al-‘Adzim Abadii, ‘Aunu al-Ma’buud, (Kairo: Daar al-Hadits,
1422H/2001M), juz V, hal. 316.
[4] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,
(Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H/2004 M), juz VIII, hal. 495.
[5] HR. al-Bukhari, dalam kitab: Fara’idh,
bab: Seorang Muslim Tidak Menerima Warisan dari Orang Kafir dan Orang Kafir
Tidak Menerima Warisan dari Orang Muslim, (hadits no. 6764), dan Muslim dalam
syarahnya karya Imam al-Nawawi, dalam kitab: Faraidh, bab: Orang Muslim
tidak Mewarisi Orang Kafir, dan Orang Kafir tidak Mewarisi Orang Muslim,
(hadits no. 4116).
[6] Al-Nawawi, al-Majmu’, juz XVII,
hal. 190. Lihat pula: Ibnu Qudamah, loc.cit.; al-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, juz XI, hal. 53-54; Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim, Tuhfatu
al-Ahwadzii, juz V, hal. 617; dan al-‘Adzim Abadii, ‘Aunu al-Ma’buud,
juz V, hal. 316.
[7] Ibnu Qudamah, loc.cit.
[8] HR. al-Daar Quthni, dalam kitab: Nikah,
bab: Mahar, (hadits no. 3578).
[9] HR. al-Thabrani, dalam al-Mu’jam
al-Kabiir, (20/162), hadits no. 338; Abu Dawud, dalam kitab: Fara’idh,
bab: Apakah Seorang Muslim Mewarisi Orang Kafir, (hadits no.2912), al-Baihaqi,
dalam kitab: Luqathah (temuan), bab: Menyebut Muslim Bagi Siapa Saja
yang Orang Tuanya Masuk Islam, (hadits no. 12153). Syaikh al-Albani mendha’ifkan
hadits ini. Lihat: al-Albani, Silsilah al-Dha’iifah, (Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif), juz III, hal. 252, (hadits no. 1123).
[10] Ibnu Qudamah, loc.cit.
[11]Ibid. Lihat pula: al-Nawawi, al-Majmu’,
juz XVII, hal. 190.
[12] Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
juz XI, hal. 54, dan Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, op.cit.,
juz V, hal. 617.
[13] Ibnu Qudamah, op.cit., jilid
VIII, hal. 496.
[14] Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
juz XI, hal. 54.
[15] Ibnu Qudamah, loc.cit.
[16] Al-Nawawi, loc.cit.
[17] Dr. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz XI, hal. 204.
[18] Al-Nawawi, al-Majmu’, juz XVII,
hal.191.
[19] Ibnu Qudamah, loc.cit.
[20] QS. al-Maidah : 51.
[21] Al-Nawawi, al-Majmu’, juz XVII,
hal. 192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar