Nasab dalam doktrinal dan hukum
Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen, nasab merupakan nikmat yang paling
besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam
surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi:
“Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air,
lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan
kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang maha kuasa.”[1]
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan
suatu nikmat yang berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz “fa
ja‘alahu nasabaa.” Dan perlu diketahui bahwasanya nasab juga merupakan
salah satu dari lima maqasid al-syariah.[2]
Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang
berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang
sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Nasab merupakan sebuah
pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya
sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari
keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai
akibat adanya hubungan nasab. Seperti hukum waris[3], pernikahan, perwalian dan lain
sebagainya.
Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang
atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syaratnya
adalah sebagaimana berikut;
- Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil perbuatannya dengan suaminya.
- Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya.
- Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.[4]
Salah satu bukti bahwa nasab adalah hal yang sangat
penting bisa dilihat dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat
seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah sebelum kenabian.
Kemudian anak tersebut oleh orang-orang dinasabkan
kepada Nabi Muhammad saw, sehingga mereka mendapatkan teguran dari Allah SWT.
Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4 -5 yang berbunyi
مَا جَعَلَ
اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ
اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ
أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ
وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan
isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia t[i]idak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak-anak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai)
saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.[5]
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak
dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz “wa maja‘ala ad‘iya-akum
abna-akum”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir
Qura’n Al-Adzim, di sana dijelaskan bahwasanya yang dimaksud dalam kalimat “Wa
ma Ja’ala Ad’iyaakum Abnaukum” adalah bahwasanya anak angkat tidak bisa
dinasabkan kepada ayah (orang yang mengangkatnya).[6]
Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap
dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami
dari lafaz “ud‘uhum li abaihim.“[7] Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad
SAW bersabda:
عَنْ سَعْدٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ
غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan dirinya
kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah
kandungnya, maka diharamkan baginya surga”[8]
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak
boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa
ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramum“. Orang
yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang
menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu
bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan
untuknya surga.
Islam tidak pernah mengakui status anak angkat yang
berubah menjadi anak kandung secara hukum. Tabanni atau mengangkat anak memang
tidak pernah dibenarkan dalam Islam.
Dahulu Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin
Haritsah sebagai anak angkat dengan segala konsekuensinya termasuk menerima
warisan. Namun Allah menegur dan menetapkan bahwa status anak angkat tidak ada
dalam Islam.
Dan untuk lebih menegaskan hukumnya, Allah telah
memerintahkan Rasulullah SAW untuk menikahi janda atau mantan istri Zaid yang
bernama Zainab binti Jahsy.?…
فَلَمَّا
قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ
وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap istrinya , Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu’min untuk isteri-isteri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya . Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.?(QS.
Al-Ahzab :37)
Dengan menikahi Zainab yang notabene mantan istri
?anak angkatnya sendiri, ada ketegasan bahwa anak angkat tidak ada kaitannya
apa-apa dengan hubungan nasab dan konsekuensi syariah. Anak angkat itu tidak
akan mewarisi harta seseorang, juga tidak membuat hubungan anak dan ayah angkat
itu menjadi mahram. Dan ayah angkat sama sekali tidak bisa menjadi wali nikah
bagi anak wanita yang diangkat. Dan juga tidak boleh bernasab dan menisbahkan
nama seseorang kepada ayah angkat.
Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah
angkat di belakang nama seseorang. Allah SWT telah menegaskan di dalam Al-Quran
keharaman hal ini :
ادْعُوهُمْ
لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Panggilah mereka dengan nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5)
[1] . QS. Al-Furqan : 54.
[2] . Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), juz. II, hal 12-23.
[3] . . Muhammad Ali ash-Shabuni Pembagian
waris menurut Islam terj. AM. Basalamah (Gema Insani Press) hal 39.
[4] . DR. Abdul Karim Zaidan Al-Mufassol
fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah ar-Risalah tahun 1413 H/ 1993 M) cet.
Ke-1 juz 9 hal 321.
[5] . QS. Al-Ahzab : 4-5.
[6] . Ibnu Katsir Tafsir Qur’an Al-Adzim
jil
[7] . Imam Thabari Jami’ul Bayan an
Ta’wil Ayil Qur’an (Kairo, Dar as-Salam tahun 1428 H/2007 M) cet. Ke-2
jilid 8 hal 6612.
[8] . HR. Bukhari, Shahih Bukhari
Kitab Faraid, Bab “Barang siapa yang menisbatkan kepada selain
bapaknya” jilid 4 hal 15 hadits no. 6766. dan Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar