Zina merupakan termasuk perbuatan
yang sangat keji dan salah satu dari dosa-dosa besar.[1] Allah –ta’ala- sendiri telah
melarang manusia untuk mendekati perbuatan zina ini sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya,
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kalian mendekati
zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.“[2]
Allah –ta’ala- telah menetapkan had atas
pelakunya, yaitu hukuman dera sebanyak 100 kali.[3] Sebagaimana hal ini tertuang dalam QS.
an-Nuur : 2. Dalam ayat yang lain, Allah –ta’ala- berfirman yang
lafadznya telah dimansukh (dihapus), akan tetapi ketentuan hukumnya
masih tetap berlaku,
الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما
البتة نكالا من الله و الله عزيز حكيم
“Laki-laki tua dan wanita tua jika
keduanya berzina, maka keduanya dirajam sebagai hukuman dari Allah.“ [4]
Akan tetapi yang menjadi problematika apabila pelaku
perzinaan adalah seorang wanita dari kalangan Ahli Kitab yang telah bersuami
dengan seorang Muslim?
Maka dalam permasalahan ini, ulama terbagi menjadi dua
pendapat:
1. Wanita tersebut wajib dirajam. Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama. Diantaranya: al-Zuhri, al-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.[5] Dalil mereka adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّهُ قَالَ: أن اليَهُودَ جاءوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه و سلم-
فَذَكَرُوا لَهُ أَنَّ رَجُلا مِنْهُمْ وَامْرَأَةً زَنَيَا، فَقَالَ لَهُمْ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه و سلم-: مَا تَجِدُونَ فِي التَّوْرَاةِ فِي شأن
الرّجمِ؟ فَقَالُوا: نَفْضَحُهُمْ، وَيُجْلَدُونَ. فقال عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
سَلام: كذبتم! إِنَّ فِيهَا الرَّجْمَ، فَأَتَوا بِالتَّوْرَاة، فَنَشَرُوهَا،
فَوَضَعَ أَحَدُهُمْ يَدَهُ عَلَى آيَةِ الرَّجْم، ثُمَّ قَرَأَ مَا قَبْلَهَا
وَمَا بَعْدَهَا، فقال لَهُ عبد اللَّه بن سلام: ارْفَعْ يَدَكَ! فَرَفَعَ يَدَه،
فَإِذَا فِيهَا آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَالوا: صَدَقَ يَا مُحَمَّدُ فِيهَا آيَةُ
الرَّجْمِ، فَأَمَرَ بِهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه و سلم- فَرُجِمَا.
فقال عبد اللَّه بن عمر: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَجنأُ عَلَى المَرْأَةِ يَقِيهَا
الحِجَارَةَ، قَالَ مَالِك يَعْنِي يَحْنِي يُكِبُّ عَلَيْهَا حَتَّى تَقَعَ
الْحِجَارَةُ عَلَيْهِ.
Dari Abdullah bin Umar –radhiyallaahu ta’ala anhuma-,
bahwa ia berkata, “Orang-orang Yahudi menemui Rasulullah –shallallaahu
‘alahi wa sallam- dan menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki dan wanita
dari mereka telah berbuat berzina. Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa
sallam- bertanya, ‘Apa yang kalian dapatkan dalam Taurat tentang rajam?’
Mereka menjawab, “Kami akan membuka aib mereka dan menjilidnya.” Abdullah bin
Salam pun berkata, “Kalian dusta! Sesungguhnya di dalamnya ada hukum rajam.’
Maka mereka pun menghadirkan kitab Taurat seraya membukanya, namun salah
seorang dari mereka meletakkan tangannya pada ayat rajam. Kemudian ia membaca
ayat yang sebelumnya dan sesudahnya. Abdullah bin Salam lalu berkata kepada
orang itu, ‘Angkatlah tanganmu!’ Orang Yahudi itu lantas mengangkat tangannya
dan ternyata di dalamnya ada ayat rajam. Mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, ia
benar. Dalam Taurat memang ada ayat rajam.’ Maka Rasulullah –shallallaahu
‘alahi wa sallam- memerintahkan untuk merajam mereka berdua.” Abdullah bin
Umar berkata, “Saya melihat lelaki itu membungkuk ke arah wanita untuk melindunginya
dari lemparan batu.”[6]
2. Isteri tersebut tidak dikenai hukuman rajam, karena
statusnya kafir. Ini merupakan pendapat ahli ra’yi. Mereka menta’wilkan
bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi –shallallaahu ‘alahi wa sallam-
merajam mereka dengan hukum yang terdapat dalam Taurat.
Namun pendapat yang benar dari kedua pendapat di atas
adalah pendapat yang pertama. Hal ini disebabkan ta’wil yang dilakukan
oleh ahli ra’yi tidaklah benar, sebab Allah –ta’ala- sendiri
berfirman,
)وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا
أَنزَلَ اللّهُ(
“dan hendaklah kalian memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah…“[7]
Disamping itu tidak diperbolehkan bagi kita
berprasangka bahwa Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam- mengesampingkan
hukum yang ada dalam kitab Allah (al-Qur’an) dengan mengedepankan hukum Taurat
dan menganggap bahwa hal itu merupakan perintah Allah –ta’ala-,
sedangkan ayat di atas dimanshukh. Akan tetapi beliau –shallallaahu
‘alahi wa sallam- berdalil dengan Taurat, sekedar untuk memperjelas hukuman
yang pantas diberlakukan bagi orang Yahudi tersebut.[8] Wallaahu ta’ala a’lam bish shawwaab.
[1] Lihat: al-Dzahabi, al-Kabaa’ir,
(Beirut: Daar al-Nadwah al-Jadidah), hal. 50.
[2] QS. al-Isra’ : 32.
[3] Hukuman ini berlaku bagi orang yang
berzina, baik laki-laki maupun wanita yang ghairu mukhshan, yaitu yang
tidak terikat dengan ikatan pernikahan dengan orang lain. Namun jika pelakunya
seorang laki-laki atau wanita berstatus mukhshan (yang telah menikah),
maka dirinya harus dirajam (dilempari) dengan batu sampai meninggal dunia.
(Lihat: Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim, (Kairo: Daar
al-Salam), cet. Ke-4, hal. 415).
[4] HR. Hakim. Redaksi ayat yang lengkap
terdapat dalam hadits no. 8068. Beliau mengatakan, “Hadits shahih isnad,
akan tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan.”
[5] Al-Baghawi, Syarhu al-Sunnah,
(Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424H/2003M), cet. Ke-2, jilid V, hal.
463.
[6] HR. al-Bukhari, dalam kitab: al-Manaqib
(Budi Pekerti), bab: firman Allah –ta’ala-, يعرفونه كما يعرفون أبناءهم
وإنّ فريقا منهم ليكتمون الحقّ وهم يعلمون, (hadits no. 3635), dan dalam
kitab: Hudud (Sanksi-Sanksi), bab: Hukum-Hukum Ahli Dzimmah dan yang
Berstatus Muhshan Apabila Berzina dan Melapor Kepada Imam, (hadits no.
6841).
[7] QS. al-Maidah : 49.
[8] Al-Baghawi, op.cit., juz V, hal.
464.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar