Iddah Talak
a. Sebelum Bercampur.
Apabila
perceraian antara suami dan isteri dilakukan sebelum keduanya bercampur, maka
dalam hal ini tidak ada iddah bagi seorang isteri. Hal ini disebabkan jika
seorang isteri dicerai sebelum dirinya dicampuri (digauli) oleh suaminya pada
status pernikahan yang shahih (sah), maka tidak ada iddah bagi isteri
tersebut. Sehingga dalam pernikahan fasid (yang rusak), hal ini lebih
utama.[1]
b. Setelah Bercampur.
Namun jika
perceraian terjadi setelah suami dan isteri bercampur, maka seorang wanita
tersebut harus melaksanakan iddah, walaupun status pernikahan keduanya adalah fasid.
Karena pernikahan fasid dianggap sebagaimana halnya pernikahan yang
sah ketika dalam kondisi yang memang dibutuhkan, yaitu untuk menjaga air mani
seorang laki-laki demi menetapkan keberadaan anaknya agar tidak terjadi
percampuran nasab. Hal ini ketika seorang wanita dalam keadaan hamil.[2]
Iddah Wafat
Iddah wafat
diwajibkan bagi seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Baik dirinya
telah digauli atau belum. Akan tetapi bagaimana dengan status pernikahan yang
rusak?
Dalam hal ini tidak diwajibkan
bagi seorang wanita melakukan iddah. Adapun alasan-alasannya adalah:
- Syarat wajib bagi seorang wanita melakukan iddah adalah apabila dirinya menjalin hubungan pernikahan yang sah.
- Allah mewajibkan iddah bagi seorang isteri (yang sah). Dan seorang wanita tidak akan menjadi seorang isteri yang sah (sebenarnya), kecuali apabila sebelumnya melaksanakan pernikahan secara sah (benar).
- Alasan diwajibkan bagi seorang isteri melaksanakan iddah wafat adalah disamping untuk membersihkan rahim (istibra’), juga dimaksudkan untuk menunjukkan kesedihan yang dialami seorang isteri, yaitu hilangnya kenikmatan dari sebuah pernikahan. Adapun pernikahan yang statusnya fasid (rusak), bukanlah pernikahan yang sebenarnya. Sehingga di dalam pernikahan tersebut tidak ada kenikmatan yang mana dengan adanya kenikmatan tersebut menjadikan alasan baginya untuk melakukan iddah demi menampakkan kesedihan yang sedang dialaminya.[3]
Akan tetapi
seandainya seorang suami sebelumnya telah menggaulinya, dan setelah itu iapun
meninggal dunia, maka seorang wanita tersebut diwajibkan untuk melakukan iddah.
Akan tetapi iddah yang dilakukannya disebabkan suaminya telah menggaulinya,
bukan dikarenakan kematian suami. Sehingga waktu iddahnya bukan 4 bulan 10 hari
(karena itu adalah waktu untuk iddah wafat), akan tetapi masa iddah baginya
adalah 3 kali quru’, jika dirinya haid. Namun jika dirinya tidak lagi
haid, masa iddahnya adalah 1 bulan.[4] Wallahu ta’ala a’lam.
[1]DR. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal
fie Ahkaam al-Mar’ah, (Beirut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1413H/993M), cet.
Ke-1, juz IX, hal.133.
[2]Ibid.
[3]Al-Kasani, Badai’ ash-Shanaai’, (Beirut:
Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1406H/1986M), juz III, hal.192.
[4]Dr. Abdul Karim Zaidan, op.cit.,
juz IX, hal. 135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar