SEJARAH DAN FITNAH
TASAWWUF
Orang-orang sufi
pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk
(kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis
memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.
Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang
terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh,
Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat
dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Dia (Al-Junaid) juga
berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan
itu, tetapi dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kebiasan
sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal
dari kesucian mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan
diri dari dunia.”
Komentar Ibnul
Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh
mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan
dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.
Jika memang begitu keadaannya,
lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada
sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak
benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar
dari golongan mereka.
Dicontohkan suatu kasus,
Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri
Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka
menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa
dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka
huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad
berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri,
1368H, hal 168-169).
Kapan awal munculnya
tasawuf
Tentang kapan awal
munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan, yang pasti, istilah
sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul,
banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan.
Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan
usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak
yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.
Begitulah yang terjadi pada diri
orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan
mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil
dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis
memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka.
Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan
Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya
hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.
Talbis Iblis yang pertama kali
terhadap mereka adalah menghalangi mereka mencari ilmu. Ia
menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah
amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan,
mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.
Di antara mereka ada
yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah
meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang
mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan
kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani
diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali
tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.
Sebenarnya tujuan mereka
itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara
mereka ada yang karena minimnya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits
maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.
Syari’at dianggap ilmu
lahir hingga aqidahnya rusak
Kemudian datang
suatu golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar,
kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam
sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang
dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan
lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri
tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan,
suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan
sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan.
Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh
menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya
dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang
mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu
batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at sebagai ilmu dhahir. Karena
rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang
musykil, mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu
kenikmatan dan kebenaran. Mereka membayangkan sosok yang bagus rupanya,
yang menjadi teman tidur mereka. Mereka itu berada di antara kufur dan
bid’ah.
Kemudian muncul beberapa
golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya
aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang
berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu
Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan
Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka
dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi
mereka. (ibid, hal 164).
Perintis tasawuf tak
diketahui pasti
Abdur Rahman Abdul Khaliq,
dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah
menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama
kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i
ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota
Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang
tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang
yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut
Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang
mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang
dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang
dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan.
Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini
mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum
zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam
Syafi’i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau
mengatakan:
“Seandainya seseorang
menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang
yang dungu.”
Dia (Imam Syafi’i) juga
pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu
akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal
371).
Semua ini, menurut
Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum
berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu
kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal
dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan
mutashawwifah (kaum sufi).
Imam Ahmad (780-855M) hidup
sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M), dan pada mulanya berguru
kepada Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan
menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak
dikutip orang. Di antaranya ketika seseorang datang kepadanya
sambil meminta fatwa tentang perkataan Al-Harits
Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin
Hanbal berkata:
“Aku nasihatkan
kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam
majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.
Imam Ahmad memberi
nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis
Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para
peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi
diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita
cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan
daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun
nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan,
dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah
perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw?
Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).
Abad III H Sufi mulai
berani, semua tokohnya dari Parsi
Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal
radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga
Hijriyah. Namun sebelum abad ketiga berakhir, tasawuf telah
muncul dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian tersebar luas
di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah berani mengatakan
sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.
Jika kita meneliti gerakan
sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara
terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi
pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya
Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api,
kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari
Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai
puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah,
yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya
di depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu
dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya
menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh.
Pada tahun 309H/ 922M ekskusi
(hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan.
Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi,
bahkan kemudian berkembang di Irak.
Abad keempat mulai
muncul thariqat/ tarekat
Tersebarnya sufisme
didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia mendirikan tempat-tempat
penginapan yang dikelola secara khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi
markas sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para
tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah
berkembanglah cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah, kemudian
secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).
Pada abad keenam Hijriyah muncul
beberapa tokoh tasawuf, masing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan
Rasulullah SAW, kemudian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan
pengikutnya yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah
Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak
diketahui siapa ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian
juga Asy-Syadzali
(Syadzaliyah/ Syadziliyah)
yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak
cabang thariqat sufiyah.
Abad ke-6,7, & 8
puncak fitnah shufi
Pada abad
keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah
sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi
mendirikan kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat
dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah
Fathimiyah (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan
ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul,
seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah
Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan maulid Nabi,
mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat. Pada akhirnya
mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.
Propaganda yang
dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari
Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan
Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil
menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebatinan
tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen
Eropa) di wilayah-wilayah Islam.
Pada abad kesembilan, kesepuluh,
dan kesebelas Hijriyah, telah muncul berpuluh-puluh thariqat
sufiyah, kemudian aqidah dan syari`at Sufi tersebar di
tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam
baru.
Ibnu Taimiyyah dan
murid-muridnya memerangi shufi
Sesungguhnya kebangkitan Islam
sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah,
yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M)
memerangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara
yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi.
Setelah itu, perjuangan beliau
dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M),
Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.
Meskipun mendapat
serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus mengakar, hingga
berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas hijriyah Allah
mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari
buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi
kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah merealisasikan
kemunculan kebangkitan Islam baru.
Da`wah Muhammad bin
Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlis di seluruh
penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap
memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol
tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah
kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah
yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was
Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti
Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal
13-17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar