Nafkah merupakan salah satu hak
seorang isteri yang harus ditunaikan oleh seorang suami. Baik isteri tersebut
statusnya sebagai isteri hakiki, seperti isteri yang masih berada dalam
perlindungan suaminya (tidak ditalak), atau isteri secara hukum, seperti isteri
yang ditalak dengan talak raj’i sebelum masa iddahnya habis. Atau bagi
seorang isteri yang ditalak ba’in sejak masa iddahnya jika dirinya
hamil. Hal ini terjadi pada pernikahan yang sah. Lalu bagaimana jika hal
tersebut terjadi pada pernikahan yang fasid?
Pada dasarnya seorang wanita yang
sedang menjalani iddah karena perceraian pada pernikahan fasid, dirinya
tidak berhak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Karena iddah terkait
dengan adanya sebuah ikatan pernikahan yang sah.[1]
Akan tetapi jika seorang wanita
tersebut hamil, maka kewajiban bagi seorang suami atau orang yang menghamilinya
adalah memberikan nafkah bagi yang dikandungnya sampai wanita tersebut
melahirkan. Hal ini disebabkan apa yang dikandungnya adalah anaknya, maka
seorang ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya. Adapun wanita
tersebut tidak mendapatkan nafkah karena ia statusnya bukan sebagai isterinya.
Adapun sesuatu yang diberikan kepada wanita tersebut adalah infak baginya.[2] Sehingga ketika wanita tersebut tidak
hamil, maka dirinya tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.[3]
[1]DR. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal
fie Ahkaam al-Mar’ah, (Beirut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1413H/993M), cet.
Ke-1, juz IX, hal. 247.
[2]Ibid.,hal. 239.
[3]Ibid.,hal. 247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar