Pernikahan adalah sesuatu yang
sakral dan sangat suci, ia merupakan dambaan setiap pemuda dan pemudi. Namun di
dalam mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah dan sembarangan, karena di dalam
pernikahan ada rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, apabila
kurang salah satu rukun atau syaratnya maka menurut kesepakatan ulama fiqih
tidak sah pernikahan tersebut.
Di antara rukun-rukun nikah yang harus dipenuhi adalah
sebagaimana berikut:
- Wali.
- Dua orang saksi
- Akad.
- Mahar.
Adapun salah satu rukunnya adalah adanya wali
dari pihak perempuan. Apabila rukun ini tidak terpenuhi bahkan cenderung
diabaikan maka sia-sialah pernikahan yang dilaksanakan, sehingga seorang
laki-laki belum resmi memiliki seorang wanita yang dinikahinya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah r
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح
إلا بولي وشاهدي عدل
Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r
bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil.”[1]
Sabdanya yang lain,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka
nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal”[2].
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wali dalam
pernikahan, apakah semua gadis yang akan melangsungkan pernikahan harus ada
wali ataukah tidak? Berikut perinciannya :
- Jumhur ulama, termasuk di dalamnya Sa’id bin Musayyib, Hasan Al-Bashri, Abdullah bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri dan Imam Syafi’i.[3] Mereka semua berpendapat bahwasanya pernikahan tanpa wali tidak sah.
- Imam Malik berpendapatj wani jika yang akan menikah adalah orang yang biasa-biasa saja, bukan termasuk orang yang mempunyai kedudukan, kerupawanan dan bukan bangsawan tidak apa-apa ia menikah tanpa wali. Akan tetapi ketika ia seorang yang berkedudukan, berwajah rupawan dan banyak harta maka ketika menikah harus memakai wali.
- Abu Hanifah berpendapat bahwasanya wali bukanlah hal yang baku dalam nikah, akan tetapi seseorang juga dibolehkan menikahkan dirinya sendiri tanpa harus ada wali, dengan syarat ia seorang yang kufu’ yaitu sudah baligh dan berakal.
Sedangkan pendapat yang rajih dan benar dari tiga
pendapat di atas adalah pendapat pertama yang dibawakan oleh jumhur ulama,
yaitu seorang gadis ketika melangsungkan pernikahan harus ada wali bersamanya. Wallahu
‘alam bi Shawab.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya
wali dalam pernikahan merupakan satu bagian yang tak mungkin untuk dipisahkan.
Namun untuk bisa menjadi wali, seseorang harus memenuhi syarat standar minimal
yang juga telah disusun oleh para ulama, berdasarkan pada ayat Al-quran dan
sunnah nabawiyah. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut :
1. Islam. Seorang ayah yang bukan beragama Islam tidak
menikahkan atau menjadi wali bagi pernikahan anak gadisnya yang muslimah.
Begitu juga orang yang tidak percaya kepada adanya Allah I (atheis). Ini adalah
pendapat jumhur ulama di antaranya Malik, Syafi’I, Abu Ubaid. Dalil haramnya
seorang kafir menikahkan anaknya yang muslimah adalah ayat Quran berikut ini:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perrempuan,
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”[4]
2. Berakal, maka seorang yang kurang waras,
idiot atau gila tidak syah bila menjadi wali bagi anak gadisnya. Meskipun
gilanya hanya kadang-kadang, terlebih lagi gila yang terus menerus tidak ada
perbedaan di antara keduanya menurut pendapat yang paling benar.[5]
3. Bulugh, maka seorang anak kecil yang belum pernah
bermimpi atau belum baligh, tidak syah bila menjadi wali bagi saudara wanitanya
atau anggota keluarga lainnya.
4. Merdeka, maka seorang budak tidak syah bila
menikahkan anaknya atau anggota familinya, meskipun ia beragama Islam, berakal,
baligh. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkannya, namun menurut pendapat
yang paling benar adalah ia tidak boleh menjadi wali.[6]
5. Laki-laki, jadi seorang perempuan tidak berhak
menjadi wali nikah.
Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seseorang untuk menjadi wali, seandainya seseorang telah memenuhi syarat-syarat
di atas dan ia termasuk dari orang yang berhak menjadi wali, maka ia
diperbolehkan untuk menjadi wali bagi seorang gadis yang masih saudaranya yang
hendak melangsungkan pernikahan.
Perlu diketahui, telah menjadi kesepakatan ulama
bahwasanya yang berhak menjadi wali nikah adalah orang-orang yang berstatus asobah.
Ini adalah pendapat jumhur ulama di antaranya adalah Tsauri, Laits, Malik dan
Syafii, sedangkan perincian yang berhak menjadib wali adalah sebagai berikut.
Dalam Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang
lazim digunakan di dalam mazhab Syafi’iyah, disebutkan bahwa urutan wali nikah
adalah sebagai berikut:
- Ayah kandung.
- Ayah dari ayah (Kakek).[7]
- Saudara laki-laki seayah dan seibu (saudara kandung)
- Saudara laki-laki seayah.
- Anak laki-laki dari saudara sekandung yang laki-laki.
- Anak laki-laki dari saudara seayah.
- Saudara laki-laki ayah (paman).[8]
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu).[9]
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau
diacak-acak. Sehingga jika ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak
kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila
pihak yang bersangkutan memberi izin kepada urutan yang setelahnya.
Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak
mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain,[10] meski tidak termasuk dalam daftar para
wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada
tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu
harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan. Akan tetapi sebaliknya
apabila pihak wanita mewakilkan kepada orang lain tanpa ijin dari wali maka
pernikahannya tidak sah.
Sebagai contoh, ketika dalam kondisi di mana seorang
ayah kandung tidak bisa hadir dalam sebuah akad nikah, maka dia bisa saja
mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain yang dipercayainya, meski
bukan termasuk urutan dalam daftar orang yang berhak menjadi wali.
Sehingga bila akad nikah akan dilangsungkan di luar
negeri dan semua pihak sudah ada kecuali wali, karena dia tinggal di Indonesia
dan kondisinya tidak memungkinkannya untuk ke luar negeri, maka dia boleh
mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang sama-sama tinggal di luar negeri
itu untuk menikahkan anak gadisnya.
Namun hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau
diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu
dilakukan, maka pernikahan itu tidak syah dan harus dipisahkan saat itu juga.
Hukum yang telah dijelaskan di atas mengenai kedudukan
wali yang sangat urgen dalam pernikahan, apakah hukum tersebut hanya berlaku
bagi seorang perempuan yang masih dalam keadaan perawan atau berlaku juga bagi
seorang wanita yang berstatus janda ? berikut perinciannya :
Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang wanita
yang berstatus janda, apakah ia juga harus memakai wali dalam pernikahan atau
tidak? Berikut perinciannya :
1. Sebagian ulama membolehkan bagi seorang wanita yang
bersatatus janda ketika ia melangsungkan pernikahan kembali tanpa harus memakai
wali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Berdasarkan dalil-dalil
sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Janda `itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya,
sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya.”[11]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ لِلْوَلِيِّ مَعَ الثَّيِّبِ أَمْرٌ
وَالْيَتِيمَةُ تُسْتَأْمَرُ وَصَمْتُهَا إِقْرَارُهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Seorang wali tidak memiliki kuasa memaksa terhadap
seorang janda, dan seorang wanita yatim dimintai pertimbangannya, dan diamnya
adalah persetujuannya.”[12]
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah itu
berlaku untuk wanita yang masih perawan ataupun sudah berstatus janda.[13] Dalil-dalil sandaran mereka adalah
sebagai berikut,
Firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah,
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
Maka jangan kamu halangi mereka mereka menikah (lagi)
dengan calon suaminya, apabila telah terjalin di antara mereka dengan cara yang
baik.
Sabda Rasulullah r
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح
إلا بولي وشاهدي عدل
Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah r
bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil.”[14]
لا تزوّ ج المراة ولا تزوجّ نفسها
“Seorang wanita tidak boleh mengawinkan seorang wanita
dan tidk pula mengawinkan dirinya.”[15]
Lalu bagaimana ketika semua wali yang telah disebutkan
di atas tidak ada, maka siapakah yang berhak menjadi wali setelahnya? Tidak
menutup kemungkinan hal ini akan terjadi di kalangan masyarakat kita atau
bahkan hal ini sudah pernah terjad,i namun kita tidak mengetahuinya? Berikut
sedikit penjelasannya :
Seorang wanita tidak boleh menikah kecuali tanpa wali,
apabila ia memaksakan diri untuk menikah tanpa wali padahal ia mempunyai wali
maka pernikahannya tidak sah, menurut pendapat yang paling benar. namun jika
semua urutan wali yang telah disebutkan di atas tidak ada, maka hak perwalian
berpindah kepada hakim atau shultan, meskipun ia masih mempunyai saudara
laki-laki seibu. Akan tetapi ia tidak bisa menjadi wali bagi saudara
perempuannya yang seibu, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah r
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهُ
Artinya:“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin
dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk
menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya
wali.”[16]
Untuk negeri kita yang dimaksud dengan penguasa dalam
hal ini adalah petugas kantor urusan agama (KUA).
[1] . HR. Ibnu Hibban.
[2] . HR. Tirnidzi, Abu Dawud dan Ibnu
Majah.
[3] . Ibnu Qudamah Al-Mughni (Kairo,
Dar al-Hadits 1425 H/2004 M) juz 9 hal 119.
[4] . QS. At-Taubah : 71.
[5] . Imam Nawawi Al-Majmu’ sarh
Al-Muhaddzab (Beirut Dar al-Fikr th. 1425 H/ 2005) juzl 17 hal 318
[6] . Ibid 318, Abu Bakar Jabir
Al-Jaza’iri Minhajul Muslim (Kairo, Dar as-Salam th. 2001) hal 336.
[7] . Imam Nawawi Al-Majmu’ Sarh
al-Muhaddzab juz 17 hal 312.
[8] . Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
Al-Husaini Al-Hushaini Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtisar
(Damaskus, Dar al-Khair th. 1994 M). Maktabah Syamilah.
[9] . Abdullah bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Kafi
fi Fiqhi Ibnu Hanbal . Maktabah Syamilah.
[10] . Al-Majmu’ juz 17 hal 305.
[11] . HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan,
“Ini adalah hadits hasan shahih”
[12] . HR. Abu Dawud hadits. No. 2100. dan
Nasa’I.
[13] . Al-Majmu’ juz 17 hal 307.
[14] . HR. Ibnu Hibban.
[15] . HR. Daruqutni.
[16] . HR Abu Daud no 2083 dan dinilai
shahih oleh al Albani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar