Sholat dalam Islam mempunyai
kedudukan yang tinggi diantara ibadah-ibadah lainnya, sehingga tidak ada ibadah
yang menyamai kedudukannya. Dan di antara keistimewaan sholat adalah, ia
merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan Allah swt secara langsung
terhadap RasulNYA tanpa ada perantara antara keduanya pada malam Isra’ Mi’raj
yaitu di Sidratil Muntaha. Dari keistimewaan inilah ibadah sholat harus sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw baik dari gerakannya,
do’a-do’anya sampai waktu-waktunya, sehingga barang siapa yang melaksanakan
sholat tidak sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah saw maka
amalannya tertolak. Contohnya, jika seseorang sholat akan tetapi dia
tidak mengikuti waktu yang ditetapkan oleh Nabi saw maka sholatnya batal dan
tertolak disisi Allah swt karena dia mengerjakannya tidak sesuai dengan yang
diajarkan Rasulullah saw.
Dalam menentukan waktu-waktu sholat Rasulullah saw
sudah mengajarkannya pada kita dalam banyak hadis yang disampaikan melalui
sahabat, tabi’in dan seterusnya akhirnya sampai pada kita. Akan tetapi dalam
riwayat-riwayat tersebut ada riwayat yang paling lengkap di dalamnya Rasulullah
saw mengajarkannya secara detail, riwayat tersebut adalah hadis Jabir bin
Abdullah yang mana beliau menceritakan beliau menceritakan :
“Bahwa Nabi saw didatangi oleh
(malaikat) Jibril a.s. seraya berkata kepada Beliau : ‘Bangunlah, lalu
shalatlah. Maka Beliau shalat dzuhur diwaktu Matahari tergelincing (ke arah
Arab). Kemudian dia datang (lagi) kepada Beliau di waktu Ashar ketika bayangan
segala sesuatu sama (panjangnya) dengannya. Kemudian dia datang (lagi) kepada
Beliau pada waktu maghrib seraya berkata ‘Bangunlah lalu shalatlah.’ Maka
Beliau shalat maghrib di kala matahari terbenam. Kemudia dia, datang (lagi)
kepada beliau pada waktu isya’ seraya berkata ‘bangunalah lalu shalatlah!. Maka
Beliau shalat isya’’, ketika warna kemerah-merahan telah hilang. Kemudia dia
datang (lagi) kepada Beliau pada waktu shubuh, lalu berkata, “Bangunlah kemudia
shalatlah” Beliau pun shalat subuh di waktu terbitnya fajar, atau ketika sinar
fajar telah meninggi. Kemudian pada esok harinya, pada waktu zhuhur dia datang
(lagi) kepada beliau, lalu berkata ‘bangunalah lalu shalatlah’ maka beliau
shalat dzuhur ketika bayangan segala sesuatu sama (panjangnya) dengan benda
aslinya. Kemudian dia datang (lagi) kepada beliau pada waktu ashar seraya
berkata, ‘bangunlah lalu shalatlah’ beliau shalat ashar diaat bayangan segala
sesuatu dua kali panjang benda aslinya. Kemudian dia datang (lagi) kepadanya
pada waktu maghrib dalam saat yang sama (dengan sebelumnya) dan beliau berbuat
sama dengan sebelumnya. Kemudian dia datang (lagi) kepada beliau waktu isya’.
Ketika separuh malam telah berlalu atau ketika sepertiga malam (pertama yang
telah lewat) kemudian beliau shalat isya’. Kemudian dia datang (lagi) ketika
waktu mulai sangat terang seraya berkata kepada beliau. ‘bangunlah lalu
shalatlah.’ Maka beliau pun shalt shubuh, lantas (jibril) berkata : ‘diantara
dua waktu inilah waktu (shalat-shalat itu)”. (HR. Nasa’I I: 263 dan Tirmidzi
I:101no. 150 semakna beliau berkata: Hadis hasan shahih gharib, Syeikh Albani
mengatakan bahwa hadis ini shahih Irwa’ Ghalil no. 250)
Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa Imam Muhammad (bin
Islam’il al Bukhari) menegaskan bahwa riwayat yang paling kuat dalam masalah
waktu-waktu shalat adalah hadis Jabir.
Inilah hadis yang menyebutkan waktu-waktu sholat
dengan lengkap, akan tetapi untuk mengetahui lebih rinci, kami paparkan di bawah
ini waktu-waktu sholat dan penjelasan ulama’ tentangnya :
1. Waktu shalat Dhuhur
Para ulama’ sepakat bahwa permulaan waktu shalat
dzuhur ketika Matahari tergelincir kesebalah barat sebagaimana hadis diatas,
dan berakhir sampai panjang bayangan sesuatu sama dengan benda aslinya. [1]
Akan tetapi dalam ulama’ berbeda pendapat mengenai
berakhirnya waktu Dhuhur, apakah waktu Dhuhur habis dengan berjalannya panjang
bayangan suatu benda sama dengan benda aslinya atau tidak?. Sebagaimana hadis
diatas, Malaikat Jibril datang pertama kali ketika shalat Ashar sedangkan
bayangan suatu benda sama dengan benda aslinya dan datang kedua kalinya ketika
shalat dhuhur sedang bayangan suatu benda sama dengan aslinya.
Al Hadi, Malik dan sebagian ulama’ berpendapat bahwa
waktu itu sudah masuk waktu Ashar dan belum keluar waktu dhuhur dan mereka
berkata itu masih cukup untuk shalat sebanyak empat rekaat Dhuhur dan empat
Ashar. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim : Mereka beralasan dengan hadis
Jibril diatas bahwa dhahir hadis tersebut menunjukkan kedua waktu shalat
itu jadi satu cukup untuk shalat empat rekaat.
Imam Syafi’i dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa
tidak ada satu waktu antara waktu shalat Dhuhur dan waktu shalat Ashar, akan
tetapi kapan waktu shalat Dhuhur habis dengan berjalannya bayangan suatu benda
sama dengan benda aslinya, maka masuklah waktu Ashar dan tidak ada lagi waktu
dhuhur, mereka beralasan dengan hadis Ibnu Umar dan Ibnu Al Ash dalam riwayat
Muslim :
وقت الظهر
إذا زالت الشمس وكان ظل الرجل كطوله ما لم يحضر العصر
“Waktu Shalat Dhuhur jika Matahari
sudah condong dan bayangan seseorang sejajar sebelum masuk waktu Ashar” (HR.
Muslim)
Adapun penjelasan yang berpendapat ini pada hadis
Jibril adalah tampak jelas maknanya habis waktu shalat dhuhur ketika ketika
bayangan sesuatu sama panjangnya dengan benda aslinya dan disyareatkan waktu
shalat Ashar ketika bayangan sesuatu sama panjangnya dengan benda aslinya maka
tidak ada istirak (bergabungnya dua waktu sholat) antara keduanya.
Ta’wil ini khusus untuk menjama’ antara hadis-hadis, karena jika hadis diatas
mengandung istirak (berkumpul dua waktu) maka akhir waktu shalat dhuhur
tidak diketahui karena jika akhir waktu dhuhur dimulai ketika panjang bayangan
sesuatu sama dengan benda aslinya, maka tidak diketahui kapan waktu dhuhur
habis dan juga tidak dapat menjelaskan batasan waktu-waktu shalat jika
menggunakan takwil ini maka dapat diketahui akhir waktu shalat dan hadis-hadis
(yang menjelaskan waktu shalat) mengandung kesamaan dan kecocokan.[2]
2. Waktu shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai dari panjangnya bayangan
sesuatu sama dengan benda aslinya (berakhir waktu dzuhur) sebagaimana hadis
Jibril di atas, dan ulama’ berbeda pendapat pada akhir waktu shalat Ashar.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa akhir waktu shalat
Ashar ketika Matahari terbenam, berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda
:
من أدرك ركعة
من العصر قبل ان تغرب الشمس فقد أدرك العصر
“Barang siapa yang mendapat satu
rekaat shalat Ashar sebelum Matahari tenggelam maka dia telah mendapatkan
(waktu) shalat Ashar” (HR. Imam enam, berkata Tirmidzi: Hasan Shahih)
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa akhir waktu
sholat ashar ketika suatu bayangan dua kali lipat dari benda aslinya.
Istikhari berkata : Akhir waktu shalat Ashar ketika bayangan benda dua kali
lipat dengan benda aslinya dan wajib diqadha’ setelah waktu tersebut berdasarka
hadis Jibril, bahwa dia shalat Ashar pada hari pertama ketika banyangan sesuatu
berjalan sama panjangnya dengan benda aslinya, dan pada hari kedua ketika
bayangan dua kali lipat dari benda aslinya kemudian berkata : Waktu (shalat
Ashar) antara kedua waktu ini.
Jumhur ulama’ menjawab dalil pendapat kedua bahwa
perkataannya “Waktu (shalat Ashar) antara kedua waktu ini” itu
mengandung waktu yang bukan makruh, karena dalam waktu sholat ada waktu
mustahab dan waktu makruh.[3]
3. Waktu shalat maghrib.
Ahlu ilmi sepakat bahwa waktu shalat Maghrib di mulai
dari terbenamnya matahari sampai dengan lenyapnya sinar (kemerah-merahan yang
muncul setelah terbenamnya matahari).
Dalam hal ini ada sebagian ulama’ yang berpendapat
bahwa waktu shalat mangrib hanya satu yaitu ketika Matahari tenggelam saja, ini
pendapat Imam Malik, Syafi’i dan yang lainnya, mereka beralasan bahwa Jibril as
saat mengajarkan Nabi saw dia shalat bersama Nabi saw pada hari pertama dan
kedua dalam satu waktu (ketika Matahari tenggelam). Akan tetapi pendapat ini
lemah karena dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi saw shalat maghrib pada
hari kedua ketika warna kemerah-merahan hilang yaitu hadis :
أن النبي صلي
الله عليه وسلم أخر المغرب في اليوم الثاني حتي كان عند سقوط الشفق
“Bahwa Nabi saw mengakhirkan Maghrib
pada hari kedua sehingga warna kemerah-merahan menghilang” (HR. Muslim
dan Abu Dawud)
وقت الصلاة
المغرب مالم يغب الشفق
“Waktu shalat mangrib ialah sebelum
syafaq merah terbenam” (HR. Muslim)
Kedua hadis diatas derajatnya shahih, oleh karena itu
tidak boleh menyelisi dengan sesuatu yang muhmal (masih global), dan waktu
shalat magrib seperti waktu shalat-shalat yang lain yaitu waktunya saling
bersambung sebagaimana waktu Dhuhur bersambung dengan waktu Ashar. Oleh
karenanya ketika warna kemerahan hilang itulah waktu akhir shalat Maghrib dan
ketika Matahari terbenam adalah waktu dimulainya shalat maghrib. Adapun
hadis-hadis yang mereka gunakan mengandung waktu istihbab dan ikhtiyar
(sunnah & memilih) dan dimakruhkan untuk mengakhirkannya.[4]
4. Waktu shalat isya’
Tidak ada perbedaan bahwa shalat Isya’ dimulai ketika syafaq
menghilang, akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat mengenai arti syafaq[5].
Ulama’ berbeda menjadi tiga pendapat :
Pendapat pertama : Safaq adalah warna merah. Ini
pendapat Imam Malik, Sufyan At Tsauri, Syafi’i dan yang lainnya yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
Pendapat kedua : Safaq adalah warna putih. Ini riwayat
dari Anas, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Nu’man bin Basir.
Pendapat ketiga : Safaq dalam bahasa arab mempunyai
dua makna yang berbeda yaitu warna merah dan putih.[6]
Adapun pendapat yang dipakai kebanyakan ahlu ilmi
bahwa syafaq adalah warna merah karena dalam Darul Quthni disebutkan
dari hadis Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda :
الشفق الحمرة
فإذا غاب الشفق وجبت الصلاة
“Safaq adalah warna merah, jika safaq sudah hilang
diwajibkan shalat” (HR. Darul Quthni)
Imam Syaukani berkata : “Hadis ini menunjukkan akan
benarnya pendapat yang mengatakan bahwa safaq adalah warna merah”[7]
Ibnu Qudamah menjelaskan mengenai perbedaan ini beliau
berkata : “Jika disuatu tempat yang ufuknya kelihatan (seprt. Digurun, laut
dll.) dan jelas ketika hilangnya safaq maka kapan warna merah menghilang sudah
masuk waktu Isya’, jika di tempat yang ufuknya tertutupi gunung atau tembok,
maka demi kehati-hatian hendaknya melihat sehingga warna putih menghilang
sebagai petunjuk hilangnya warna merah, ini diambil dari hilangnya warna putih
karena untuk menunjukkan hilangnya warna merah bukan karena warna putihnya
menghilang.[8]
Adapun waktu akhir shalat Isya’ sampai sampai terbit
fajar kedua (Fajar Shadiq) dan waktu ini adalah waktu dharurah (gawat)
karena Rasulullah saw bersabda :
ليس في النوم
تفريط إنما التفريط من لم يصل الصلاة حتي يجيء وقت الصلاة الأخري
“Ketiduran tidak dianggap meremehkan (shalat), akan
tetapi orang yang meremehkan ialah orang yang tidak segera menunaikan shalatnya
hingga tiba waktu shalat yang lainnya (setelahnya) (HR. Muslim)
Hadis diatas menjelaskan bahwa waktu-waktu shalat wajib
berakhir sampai masuk waktu shalat berikutnya kecuali shalat subuh[9], karena Rasulullah saw bersabda :
من ادرك ركعة
من الصبح قبل أن بطلع الشمس فقد أدرك الصبح
“Barang siapa yang mendapat satu rekaat shalat
subuh sebelum Matahari terbit maka dia sudah mendapatkan shalat Subuh” (HR.
Muslim)
Dan para ulama’ berbeda pendapat pada waktu akhir ikhtiyari
(memilih ketika tidakada urusan penting):
Pendapat pertama : Akhir waktu ikhtiyari shalat Isya’
pada sepertiga malam pertama, ini pendapat Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar
bin Abdul Aziz dan Malik. Mereka beralasan dengan hadis Jibril bahwa Nabi saw
shalat Isya’ pada hari kedua pada sepertiga malam, dan Jibril berkata : “Waktu
shalat antara kedua waktu ini” dan hadis dari Aisyah bahwa Rasulullah saw
bersabda :
صلوا مابين
أن يغيب الشقف إلي ثلث الليل
“Shalat (Isya’) kalian antara
hilangnya safaq (warna merah) sampai sepertiga malam” (HR.
Nasa’i)
Pendapat kedua : Berakhir pada separoh malam, ini
pendapat Tsauri, Ibnu Mubarak dan Syafi’i, mereka beralasan dengan hadis Anas
bin Malik, beliau berkata :
“Rasulullah saw mengakhirkan shalat
Isya’ sampai separoh malam” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sabda Rasulullah saw :
لولا ضعف
الضعيف وسقم السقيم لأمرت بهذه الصلاة أن تؤخر إلي شطر الليل
“Kalaulah bukan karena orang yang
lemah dan orang yang sakit, Sungguh aku akan memerintahkan untuk mengakhirkan
shalat ini sampai separoh malam” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Nasa’i)
Pendapat yang utama adalah pendapat yang pertama, akan
tetapi jika diakhirkan hingga separoh malam tidak apa-apa.[10]
5. Waktu shalat subuh.
Ulama’ sepakat bahwa shalat subuh dimulai ketika
terbit fajar sadiq (fajar kedua) sebagaimana hadis Jibril di atas dan berakhir
ketika Matahari terbit, sebagaimana sabda Nabi saw dalam hadis Ibnu Umar bahwa
Rasulullah saw bersabda :
ووقت الفجر
مالم تطلع الشمس ومن ادرك منها ركعة قبل ان تطاع الشمس كان مدركا لها
“Waktu shalat fajar selama Matahari
belum teribt, barang siapa yang mendapatkan satu rekaat shalat subuh sebelum
Matahari terbitk maka dia sudah mendapatkan waktu shalat subuh. (HR.
Muslim)
من ادرك ركعة
من الصبح قبل ان تطلع الشمس فقد ادرك الصبح
“Barang siapa yang mendapatkan satu
rekaat shalat subuh sebelum matahari terbit maka dia sudah mendapatkan shalat
subuh” (Muttaqun alaih)
Adapun cara untuk mengetahui fajar shadiq adalah
sebagaimana yang dijelaskan para ulama :
Ibn Qudamah -Rahimahullah- mengatakan, “Ringkasnya,
bahwa waktu Subuh masuk dengan terbitnya fajar kedua, berdasarkan ijma’ ulama.
Hadits-hadits tentang penentuan waktu shalat menunjukkan hal ini, yaitu sinar
putih yang melebar di ufuk. Disebut fajar shadiq, karena ia benar memberitakan
tentang Subuh dan menjelaskannya kepada anda. Subuh itu adalah waktu yang
menggabungkan sinar putih (terang) dengan semburat merah. Dari sini orang yang
berkulit putih bercampur merah disebut Ashbah. Sedangkan fajar pertama yaitu
sinar terang yang memanjang ke atas dan tidak melebar (vertical) maka tidak ada
sangkut pautnya dengan hukum syar’i, disebut fajar kadzib.” [11]
Ibn Hazm -Rahimahullah- mengatakan, “Fajar pertama
adalah meninggi ke atas seperti ekor serigala, setelah itu gelap lagi
menyelimuti ufuk, tidak mengharamkan makan dan minum bagi orang yang puasa,
belum masuk waktu shalat Subuh. Ini tidak diperselisihkan oleh seorangpun dari
umat ini.
Yang kedua adalah sinar terang yang melebar di langit
di ufuk timur di tempat terbitnya matahari pada setiap masa. Ia berpindah
dengan perpindahannya (matahari), ia merupakan permulaan cahaya Subuh, dan
semakin terang, barangkali dicampuri dengan semburat merah yang indah. Inilah
yang menjelaskan masuknya waktu puasa, dan adzan shalat Subuh. Adapun masuknya
waktu shalat terjadi dengan semakin terangnya, maka ini tidak diperselisihkan
oleh seorangpun.”[12]
Syaikh Ibn Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan, “Para
ulama menyebutkan bahwa antara fajar kadzib dan fajar shadiq ada tiga
perbedaan:
a. Fajar kadzib mumtad (memanjang) tidak mu’taridh
(menghadang); Mumtad maksudnya memanjang dari timur ke barat. Sedangkan fajar
shadiq melebar dari utara ke selatan.
b. Fajar kadzib masih gelap, artinya cahaya fajar ini
sebentar kemudian gelap lagi. Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap,
bahkan semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang).
c. Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada
kegelapan antara fajar ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari
ufuk, ada kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.
Fajar pertama ini (kadzib) tidak berkaitan dengan
hukum syariat apapun, tidak menjadi awal menahan diri dari makan minum ketika
puasa, tidak pula awal masuknya waktu Subuh. Hukum-hukum yang disebutkan ini
berkaitan dengan fajar kedua, yakni fajar shadiq.”[13].
Demikianlah waktu-waktu sholat yang diajarkan langsung
dari Malikat penyampai wahyu ‘Jibril’ kepada Nabi Muhammad saw yang mana di
dalamnya tidak ada campur tangan manusia.
Akan tetapi kalau kita lihat pada zaman sekarang
umumnya kaum muslimin menggunakan waktu-waktu sholat dengan berpegangan pada
jadwal yang sudah ditentukan pemerintah atau yang sering kita dengar dengan
jadwal sholat abadi. Maka dalam hal ini kalau kita teliti para ulama’ tidak ada
yang menentangannya dari sejak munculnya penentuan ini hingga sekarang, ini
menunjukkan bahwa menentukan waktu sholat dengan jadwal itu diperbolehkan, dan
hal ini juga dapat mempermudah kaum muslimin dan menjaga persatuan di antara
mereka sehingga tidak terjadi pertikaian antara satu dengan yang lain. Dan
jadwal ini ditentukan dengan penelitian yang sangat mendalam, sehingga antara
posisi Matahari dan jadwal yang akan di tentukan harus sama, sehingga dengan
demikian terjauhkan dari kesalahan dalam menentukan waktu-waktu sholat.
Imam Ghozali berkata : “Penelitian/penentuan jika itu
sesuai (tidak ada kesalahan) bisa digunakan untuk hal-hal yang qath’I (yang
ditentukan syare’at), akan tetapi jika tidak sesuai maka itu tidak bisa
dijadikan untuk hal-hal yang qath’I kecuali hanya bersifat sebagai pendukung
pemahaman”.[14]
Akan tetapi perlu digaris bahwahi disini adalah, bahwa
terdapat satu kaidah yang mengatakan bahwa alat-alat modern (seperti ilmu falak
disini dll.) tidak dapat dijadikan sandaran sebuah hukum, akan tetapi itu
bisa digunakan hanya sebagai pembantu atau mempermudah dalam menentukan sebuah
hukum.[15]
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa menentukan
waktu sholat dengan menggunakan jadwal abadi yang menggunakan penelitian yang
mendalam sehingga terjauhkan dari kesalahan hukumnya boleh, akan tetapi hal
tersebut tidak boleh di jadikan sandaran utama. Wallau A’lam
[1] Lihat Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, Al Mughni, (Kairo Mesir: Dar al
Hadis 1425 H/2004), cet. tdk ada, Juz. I, hal. 464
[2] Muhammad bin Ali Ibnu Muhammad as
Syaukani, Nail al Authar (Beirut, Lebanon: Dar al Jail), cet. ke,-, juz.
I, hal. 383
[3] Lihat Mahmud Muhammad khatab al Subuki,
ad Din al Khalis, Cet. Ke-IV, th. 1397 H-1977 M, juz. II, hal. 12 – 13
[4] Lihat Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, op. cit. hal. 478
[5] Ibid, hal. 479
[6] Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin
Mundir an Naisaburi, al Israf ala Madzahi al Ulama’, cer. Ket-I, juz. I hal.
399
[7] Muhammad bin Ali Ibnu Muhammad as
Syaukani, op. cit. hal. 411
[8] Lihat Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, op. cit. hal. 481
[9] Imam Muhyidin an Nawawi, al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, (Beirut, Libanon: Dar Mufarriqah 1420 H-1999 M), cet.
Ke-VI, juz. III, hal. 192
[10] Lihat Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad bin Qudamah al Maqdisi, op. cit. hal. 482
[11] Ibid, hal. 484
[12] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, (Kairo:
Maktabah Dar al Turast, th. 1426 H/2005 M),cet. Ke-I, juz.III, hal. 192
[13] Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syarh
al Mumthi’, (Dar al Aqidah, th. 2003 M), cet. Ke-1, juz. I, hal. 332
[14] Muhammad bin Husain al Jaizani, Fiqh
an Nawazil, (Dar Ibnu Jauzi, th. 1426 H/2005 M), cet. Ke-1, juz. II, hal.
149
[15] Di kutip dari pekataan ust. Dr. Ahmad
Zein An Najah MA. pada penyampaian mata kuliah fiqih di aula Islamic Center Al
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar