Pembicaraan bahkan fitnah terkait
masalah ini sangatlah meresahkan, bagaimana tidak. Sejatinya hal ini merupakan
wilayah furu yang selayaknya hanya dibicarakan dalam tataran pencarian terhadap
kebenaran lewat diskusi-diskusi hangat yang konstruktif.
Namun harapan-harapan tersebut pupus lewat mulut-mulut
sembrono yang dengan mudahnya mengklaim sesuatu dan memaksakan klaim tersebut
kepada orang awam yang bermodal kehanifan dan taqlid dalam beragama. Akibatnya
nafsu ammarah menguasai mereka lalu terjadilah caci maki yang disebabkan
pemahaman yang keliru dan kurang menyeluruh terhadap pendapat para ulama
mengenai hal tersebut.
Masalah apakah itu? Biji tasbih!
Yah, pengetahuan yang keliru dan atau tidak menyeluruh
serta taqlid buta menyebabkan caci maki terkait perdebatan seputar hukum syar’i
menggunakan tasbih untuk berdzikir kepada Allah Subahanahu Wataala.
Sebagai blog yang memaparkan tentang biografi dan
sikap serta fatwa Ibnu Taimiyah, maka saya mencoba untuk mengulas pendapat
beliau yang begitu wasath dalam masalah ini.
Semoga tulisan ini menjadi pemberat dalam timbangan
amal baik serta amal jariyah bagi pemilik dan pengelola blog ini. Amin.
Perselisihan tentang Tasbih
Para ulama berselisih menjadi 3 pendapat besar tentang
penggunaan tasbi untuk berdzikir.
Pertama, Sebagian
ulama membolehkannya. Inilah pendapat yang Umum
Berkata Ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab al Bahri al
Râiq sebagai komentar terhadap Hadits Nabi tentang berdzikir dengan biji-biji
tasbih:
قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ )
بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ
وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ )
قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ
مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً
وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ،
وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ.ا هـ
وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ
عَلَى النَّافِلَةِ
قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا
وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد
وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ
الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا
نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك
مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي
السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ
اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ
؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا
إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ
مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ .
وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ
وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ
السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ
، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ
نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ
الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ
وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ
(Ucapannya: tidak mengapa
menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan adalah alat untuk bertasbih,
ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al Hilyah, dan Al Khazain adalah tanpa
mim. Disebutkan dalam Al Mishbah: “Subhah adalah manik-manik yang terangkai,
kata ini menunjukkan bahwa ia adalah bahasa arab asli. Al Azhari berkata: “Itu
adalah kata yang muwalladah (tidak asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah
dan ghuraf.
Yang masyhur secara syariat adalah
penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunnah. Disebutkan dalam Al Maghrib:
“karena dia bertasbih padanya.”
Ada pun dalil kebolehannya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban,
dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya.
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى
تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا
أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ
اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ
ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ
ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“Bahwa dia (Sa’ad) bersama Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita, dan dihadapan
wnaita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah
bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir
yang tertulis dalam teks di atas ..)[1]
Lalu katanya: “Nabi tidak
melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan cara yang lebih mudah dan utama,
seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan hal itu kepada wanita tersebut.
Dari kandungan hadits ini, kita dapat memahami bahwa subhah tidak
lebih dari kumpulan bijian yang dirangkai dengan benang. Masalah seperti ini
tidak berdampak pada pelarangan. Maka, bukan pula kesalahan jika ikut
menggunakannya sebagaimana sekelompok kaum sufi yang baik dan selain mereka.
Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah, tetapi kami tidak
membahas hal ini.[2]
Al Imâm al Syaukânî membahas hadits-hadits terkait
biji-bijian tasbih dan berkomentar sebagai berikut
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان
عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان
على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه
عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي
الجواز
“ … sesungguhnya ujung jari jemari
akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu.
Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding
dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan
bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji
tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan
(didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap
dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan
mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum
boleh.” [3]
Syaikh Abu al ‘Ala Muhammad
Abdurrahmân bin Abdurrahîm Al Mubârakfûri Rahimahullah Beliau
menerangkan dalam Tuhfah al Ahwâdzi, ketika menjelaskan hadits
Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:
وَفِي
الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي
أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ
مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ
بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ،
وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ
بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ
الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ
بِهَا الْحَدِيثَ .
“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya
bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At
Tirmidzi bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni
mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan
menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji
tasbih) dan kerikil. Dalil yang menunjukkan kebolehan menghitung tasbih
dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa
beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang
wanita yang dihadapannya terdapat biji-biji atau kerikil yang digunakannya
untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada
4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” [4]
Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin
Bâz Al Hambali Rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang berdzikir
setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah?
Beliau menjawab:
المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح
بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك
في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع
أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا
ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة
“Berzikir dengan subhah tidak patut
dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh
baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau
biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut dirumahnya, agar
manusia tidak mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah
ini lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap
tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun membawanya ditangan ke
masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.” [5]
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hadits: ‘Setiap bid’ah
adalah sesat’, artinya tidak ada bid’ah kecuali sesat dan tidak ada bid’ah
yang baik, bahkan setiap bid’ah adalah sesat.
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik atau yang sesat?
Beliau menjawab: tasbih tidak termasuk bid’ah dalam
agama, karena manusia tidak bertujuan beribadah kepada Allah swt dengannya.
Tujuannya hanya untuk menghitung jumlah tasbih yang dibacanya, atau tahlil,
atau tahmid, atau takbir. Maka ia termasuk sarana, bukan tujuan.
Akan tetapi yang lebih utama darinya adalah bahwa
seseorang menghitung tasbih dengan jari jemarinya:
- karena ia adalah petunjuk dari Nabi saw.[6]
- Karena menghitung tasbih dan yang lainnya dengan alat tasbih bisa membawa kepada kelalaian. Sesungguhnya kita menyaksikan kebanyakan orang-orang yang menggunakan tasbih, mereka bertasbih sedangkan mata mereka menoleh ke sana ke sini, karena telah menjadikan jumlah tasbih menurut jumlah yang mereka inginkan dari tasbihnya atau tahlilnya atau tahmidnya atau takbirnya. Maka engkau mendapatkan mereka menghitung biji-bii tasbih ini dengan tangannya, sedangkan hatinya lupa sambil menoleh ke kanan dan kiri. Berbeda dengan orang yang menghitungnya dengan jemarinya, maka biasanya hal itu lebih menghadirkan hatinya.
- Alasan ketiga: sesungguhnya menggunakan tasbih bisa membawa kepada riya. Sesungguhnya kita menemukan kebanyakan orang yang menyukai banyak bertasbih, menggantungkan di leher mereka tasbih yang panjang. Seolah-olah mereka berkata: lihatlah kepada kami, sesungguhnya kami bertasbih kepada Allah swt sejumlah bilangan ini. Aku meminta ampun kepada Allah swt dalam menuduh mereka seperti ini, akan tetapi dikhawatirkan terjadinya hal itu.
Tiga alasan ini menuntut manusia agar meninggalkan
tasbih dengan biji tasbih ini dan hendaklah ia bertasbih kepada Allah swt
dengan jari jemarinya.
Kemudian, sesungguhnya yang utama agar menghitung
tasbih dengan jari tangan kanannya, karena Nabi saw menghitung tasbih dengan
tangan kanannya, dan tanpa diragukan lagi yang kanan lebih baik dari pada yang
kiri. Karena inilah yang kanan lebih diutamakan atas yang kiri. Nabi saw
melarang seseorang makan atau minum dengan tangan kirinya dan menyuruh manusia
makan dengan tangan kanannya. Nabi saw bersabda:
يَا غُلاَمُ,
سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai gulam (anak kecil), bacalah bismillah,
makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat denganmu.”[7]
Dan beliau saw bersabda:
إِذَا أَكَلَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
“Apabila seseorang darimu makan maka hendaklah ia
makan dengan tangan kanannya, dan apabila minum hendaklah ia minum dengan
tangan kanannya. Sesungguhnya syetan makan dengan tangan kirinya dan minum
dengan tangan kirinya.”[8]
Tangan kanan lebih utama dengan tasbih daripada tangan
kiri karena mengikuti sunnah dan mengambil dengan kanan. Dan Nabi saw menyukai
yang kanan dalam memakai sendal, bersisir, bersuci dan dalam seluruh
perkaranya. Atas dasar inilah, maka membaca tasbih dengan alat tasbih tidak
termasuk bid’ah dalam agama, namun hanya sebagai sarana untuk mencatat
hitungan. Ia merupakan sarana yang tidak utama, dan yang utama darinya adalah
menghitung tasbih dengan jemarinya.[9]
Kedua, sebagian
ulama menganggapnya Mustahab
Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi
Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Al Jami’
Ash Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين
الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا
ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض
معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا
الحديث
“Hadits ini merupakan dasar terhadap
sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada
masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki
benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia
bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah
subhah.” Tetapi mu’allif (yakni Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama
belakangan, Al Jalal Al Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih
dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.”[10]
Ketiga, Sebagian
Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan Tasbih untuk berdzikir.
Inilah yang masyhur dari pendapat al Imâm al Albâni
dan murid-muridnya. Pendapat Ini juga didukung oleh Syaikh Abdul Muhsin Al
‘Abbad Al Badr. Bahkan syaikh Bakr Abu Zaid memiliki risalah khusus yang
menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung Dzikir.
Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:
- Hal itu menyalahi Sunnah dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah bahkan bid’ah yang tidak memiliki asal dalam syariat sedangkan permasalah ibadah adalah Tauqifiyah oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika ada syariatnya
- adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut. Ibnu Waddhah[11] berkata dalam kitabnya al Bid’u wan nahyu anha: Dari Ibrahim berkata : “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan tasbih seraya bertanya : “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada Allah?” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 7667) dengan sanad shohih. Dari as-Shalt bin Bahram berkata : “Ibnu Mas’ud melewati seorang wanita yang berdzikir dengan tasbih, maka segera beliau potong tasbih lalu membuangnya. Kemudian beliau melewati seorang lai-laki berdzikir dengan kerikil, maka beliau menendangnya, kemudian berkata : “Sungguh kalian telah mendahului Rasulullah, kalian melakukan bid’ah dengan zhalim dan ilmu kalian telah melebihi ilmu Sahabat-Sahabat Muhammad.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi syaibah disebutkan: telah
menceritakan kepadaku yahya Bin Said al Qatthâni dari Al Taimi dari Abi
Tamimiyah dari seorang perempuan bani Kulaib yang berkata bahwa ia dilihat oleh
Aisyah sedang berdzikir dengan biji-biji tasbih, maka Aisayah berkata: Mana
Syawahid? yang dimaksud adalah jari jemari. Dari Atsar ini bisa
dipahami bahwa Asiyah menegur perempuan tersebut dan menyuruhnya menggunakan
jari, namun sayang dalam atsar ini ada rawi yang mubham
Ibnu Taimiyah memberi pendapat yang wasath dalam hal
ini, beliau mengatakan[12]
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن
واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة
رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك
وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
وأما التسبيح بما يجعل في نظام من الخرز ونحوه فمن الناس
من كرهه ومنهم من لم يكرهه , وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
“Menghitung tasbih dengan jari
jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena
jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”
Adapun menghitung tasbih dengan
biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu
perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu ‘Anhum )ada
yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul
mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya.
Diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil
tersebut
hukum menggunakan tasbih sebagai alat untuk berdzikir
adalah boleh dan mubah bukan bid’ah, inilah yang masyhur dari pendapat para
ulama dari 4 Mazhab dan juga ulama-ulama Salafi serta sesuai dengan kaidah
bahwa asal sesuatu adalah Mubah selama tidak ada dalil yang melarang. Adapun
jika ada kesan menganggapnya hasan maka hal tersebut adalah kelaziman dari
hukum mubah yang diniatkan untuk kebaikan
Dalam matan zubad, Ibnu Ruslan berkata:
و خص ما يباح
باستوى الفعل والترك على السواء
لكن إذا نوى
بأكله القوى لطاعة الله به ما قد نوى
Dikhususkan kesamaan dalam hukum
mubah baik meninggalkan maupun melakukan
Namun jika seseorang makan agar kuat
dalam ketaatan kepada Allah, maka ia mendapatkan sesuai yang ia Niatkan.
Syaikh Muhammad bin sholih al Utsaimin menjelaskan
ketika membahas tentang hukum Mubah dalam kitab al ushul min ilmil Ushul:
Seandainya ada kaitannya dengan
perintah karena keberadaannya (yakni suatu yang mubah) sebagai wasilah terhadap
hal yang diperintahkan, atau ada kaitannya dengan larangan karena keberadaannya
sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang, maka bagi hal yang mubah tersebut
hukumnya sesuai dengan keadaan wasilah tersebut.
Adapun yang menyunahkan, maka hal tersebut keliru
Karena tidak ada dalil khusus yang mengindikasikan hal tersebut, bahkan
Rasulullah menyarankan agar menggantinya dengan menggunakan jemari.
Adapun yang mengharamkannya dengan dalil dari
kebencian Ibnu Mas’ud, maka tidak diketahui secara jelas ada indikasi Ibnu
Mas’ud membenci biji-biji tasbih, namun yang dzohir adalah beliau membenci
menghitung tasbih (zikir). Dalam menyebutkan atsar-atsar terkait hal tersebut,
Ibnu Abi syaibah membuat “fasal tentang orang-orang yang membenci
menghitung-hitung tasbih” lalu beliau menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan
ibnu Umar. Begitu juga yang terdapat dalam Sunan Al Dârimi, hal tersebut tidak
mengindikasikan secara tegas tentang kebencian beliau. Apakah terkait menunggu
waktu sholat dengan menghitung-hitung zikir dan melakukannya secara berjamaah
dengan pimpinan satu orang ataukah kebencian beliau terkait kerikil-kerikilnya
saja. Namun yang zohir larangan tersebut adalah terkait yang pertama. Wallahu
a’lam
Fatwa-fatwa terkait kebolehan menggunakan tasbih
selalu diiringi dengan beberapa peringatan. Ibnu Taimiyah mengatakan setelah
membolehkan tasbih:
Adapun Tasbih yang dibentuk seperti
manik-marik yang terangkai dan semisalnya, maka sebagian manusia ada yang
membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau niatnya baik maka hal
itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa keperluan atau
memamerkannya kepada manusia, misanya digantungkan dileher atau dijadikan
gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau
merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya.
Yang pertama (riya, red) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh.
Sesunggunhya riya kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti sholat,
puasa, zikir, dan membaca qur’an adalah termasuk dosa yang paling besar.
Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4)
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6)
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5) orang-orang
yang berbuat riya (6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna (7)[13]
Allah juga berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ
اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى
يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan
shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali [14]
Senada dengan peringatan diatas juga difatwakan oleh Faqihuzzaman
Ibnu utsaimin dan Ibnu Bâz, oleh karena itu hendaknya kita menggunakan tasbih
jika ada hajat saja untuk menghitung zikir yang jumlahnya cukup banyak seperti
zikir pagi dan petang yang merepotkan jika dihitung dengan jemari. Adapun untuk
zikir setelah sholat dan senantiasa membawa tasbih ketika sholat atau bepergian
seperti berlaku pada sebagian orang yang diklaim alim, maka hal tersebut makruh
menurut Syaikh Ibnu Bâz. Lagipula yang secara tegas dianjurkan oleh Rasulullah
dan disepakati kesunnahannya oleh ummat adalah menggunakan jemari karena Ia
akan menjadi saksi diakherat atas zikir-zikir yang telah kita ucapkan.
Wallahu a’lam Bisshowâb
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
[1] HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No.
3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837
[2] Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54.
Mawqi’ Al Islam
[3] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,
2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah
[4] Tuhfah al Ahwâdzi, 9/458. Cet.
2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin
Abdul Lathif
[5] Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Majmu’ Fatawa wa Maqallat, 29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam
[6] Ahmad 6/270, Abu Daud 1501, at-Tirmidzi
3583, Ibnu Hibban 842, al-Hakim 1/457 (2007) dan ia tidak memberi komentar dan
dishahihkan oleh adz-Dzahabi, dihasankan oleh Albani dalam ‘Shahih Abu Daud’
1329.
[7] Al-Bukhari 5376 dan Muslim 2022
[8] Muslim 2020
[9] http://www.islamhouse.com/p/278161
. Syaikh Ibnu Utsaimin –Nur ‘ala darb, halqah kedua hal 68
[10] Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1,
1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon
[11] Al Zahabi menyebutkan biografinya
dalam siyar 13/445 : Berkata Ibnu al Fardhi : dia banyak mengklaim sabda-sabda
nabi Shallallâhu Alaihi Wasallâm padahal itu merupakan kata-katanya sendiri,
dia banyak melakukan kesalahan yang telah diketahui berasal darinya, keliru,
dan melakukan tashif, serta tidak memiliki ilmu dalam bahasa arab dan juga fiqh
[12] Majmu Fatâwa 22/506
[13] Qs al Mâûn:4-7
[14] Qs Ali Imrân 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar