Dalam pembahasan sebelumya telah
dijelaskan bahwa ada suatu kaidah yang berbunyi, “Seorang anak mengikuti kedua
orang tuanya dalam beragama.”[1]
Dari kaidah di atas maka menjadi kesepakatan ulama bahwa jika kedua orang tua masuk Islam, maka anaknya mengikuti agama kedua orangtuanya. Sehingga seorang anak tersebut secara otomatis menjadi Muslim dengan keislaman kedua orang tuanya.
Dari kaidah di atas maka menjadi kesepakatan ulama bahwa jika kedua orang tua masuk Islam, maka anaknya mengikuti agama kedua orangtuanya. Sehingga seorang anak tersebut secara otomatis menjadi Muslim dengan keislaman kedua orang tuanya.
Namun apabila yang masuk Islam hanya salah satu dari kedua orang tuanya
yang kafir, maka dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Seorang anak mengikuti agama orang tuanya yang
masuk Islam[2], baik yang masuk Islam adalah ayahnya ataupun ibunya, tanpa adanya
persyaratan apapun. Ini adalah pendapat kalangan madzhab al-Syafi’i, Hanbali,
Dhahiri.
Hal ini disebabkan:
a. Terdapat satu kaidah yang berbunyi, “Seorang anak
mengikuti agama yang baik dari kedua orang tuanya.”[3]
Dalam al-Muhalla disebutkan bahwa orang tua
mana saja yang kafir (ayah atau ibunya), kemudian salah satu dari keduanya
masuk Islam, maka setiap anaknya yang belum baligh secara otomatis
beragama Islam disebabkan keislaman salah satu dari kedua orang tuanya.[4]
b. Kedua orang tuanya memiliki kedudukan yang sama
untuk diikuti oleh anaknya, sebab keduanya merupakan penyebab lahirnya seorang
anak. Maka seorang Muslim harus lebih didahulukan, sehingga dalam beragama
seorang anak mengikutinya. Karena Islam itu tinggi dan tidak ada yang
menandingi ketinggiannya.[5]
c. Seorang anak mengikuti agama orang tuanya yang
masuk Islam dengan syarat apabila antara keduanya, yakni seorang anak dan orang
tuanya yang masuk Islam, berada dalam satu wilayah (ittihad ad-daar).
Ini merupakan pendapat sebagian kalangan madzhab Hanafi.[6]
Disebutkan dalam “Fatawa al-Hindiyah” bahwa dalam
fiqih madzhab Hanafi terdapat satu kaidah yang berbunyi, “Seorang anak
mengikuti agama yang baik dari kedua orang tuanya.” Kaidah ini berlaku jika
keduanya berada dalam satu wilayah, yakni keduanya berada di darul Islam atau
berada di daarul harb. Atau seorang anak yang masih kecil (belum baligh) berada
di daarul Islam dan seorang ayah masuk Islam di daarul harb. Karena penduduk
yang berada di daarul Islam memiliki keterkaitan hukum. Namun apabila seorang
anak yang masih kecil tersebut berada di daarul harb, dan seorang ayah masuk
Islam di daarul Islam, maka seorang anak tidak mengikuti agamanya dan ia bukan
seorang Muslim.[7]
Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang
pertama, yaitu tidak ada persyaratan, sebagaimana yang disebutkan oleh
sebagian kalangan madzhab Hanafi, hal ini disebabkan:
4. Kaidah: “Seorang anak mengikuti agama yang baik
dari kedua orang tuanya.”, menjelaskan tentang keharusan untuk mengikuti agama
yang baik dan tidak ada kaitannya dengan kesatuan wilayah (ittihaad ad-daar).
5. Adanya hadits Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa
sallam-,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ
عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ
فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Tidak seorang anakpun yang terlahir
kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kemudian kedua orang
tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna.
Apakah kalian melihat ada cacat padanya?”[8]
Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang tidak
dikatakan menyelisihi Islam (beragama non-Islam), kecuali jika kedua orang
tuanya bersepakat untuk menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Namun
apabila salah satu dari kedua orang tuanya masuk Islam, maka dalam hal ini
berarti kedua orang tuanya tidak ada kesepakatan untuk menjadikan anaknya
Majusi, Nasrani atau Yahudi. Sehingga anak tersebut tetap dalam kondisi
keislamannya.[9] Wallahu ta’ala a’lam bis shawwab.
[1] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425
H/2004 M), juz XII, hal. 117.
[2] Hal ini terjadi apabila suami-isteri berstatus kafir, kemudian salah satu
dari mereka masuk Islam dan melahirkan anak sebelum bercerai. Atau keduanya
memiliki anak kecil sebelum salah satu dari keduanya masuk Islam, maka anak
tersebut menjadi Muslim dengan keislaman salah satu dari keduanya. (Ibnu
‘Abidin, Ruddu al-Muhtaar ‘ala al-Dur al-Mukhtaar, (Beirut: Daar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H/1994 M), juz IV, hal. 370).
[4] Ibnu Hazm, al-Muhalla, (Kairo: Maktabah Daar al-Turats,
1426H/2005M), jilid IV, hal. 424.
[5] Al-Kasani, Badai’ ash-Shanaai’, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1406H/1986M), juz VII, hal. 104.
[6] Ibnu ‘Abidin, op.cit., juz IV, hal. 370.
[8] HR. al-Bukhari, dalam kitab: Jenazah, bab: Apabila Seorang Anak Masuk
Islam, Lalu Meninggal Dunia, Apakah Wajib Dishalati?, (hadits no. 1358),
dan dalam kitab: Tafsir al-Qur’an, bab: Tidak Ada Perubahan Pada Fitrah Allah,
(hadits no. 4775).
[9] Ibnu Hazm, op.cit., jilid IV, hal. 425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar