Gambar berbeda dengan foto. Gambar
dibuat dengan cara menggambar, sementara foto dibuat dengan alat-alat
fotografi. Gambar juga berbeda dengan menggambar. Gambar adalah benda sementara
menggambar adalah perbuatan. Hukum-hukum yang berkaitan dengannya pun berbeda.
Lebih detailnya, mari kita simak penjelasan berikut.[1]
Fotografi menurut Amir Hamzah Sulaeman mengatakan
bahwa fotografi berasal dari kata foto dan grafi yang
masing-masing kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut: foto artinya
cahaya dan grafi artinya menulis jadi arti fotografi
secara keseluruhan adalah menulis dengan bantuan cahaya, atau lebih dikenal
dengan menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media
kamera dengan bantuan cahaya.
Menggambar (Tashwir)
Tashwir adalah
menggambar bentuk (shurah) sesuatu. Di antara tashwir adalah membuat
patung-patung. Dan tercakup di dalamnya juga pahatan. Gambar atau patung
dinamakan shurah. Jamaknya shuwar. Di dalam bahasa disebut juga tashawir.
Tercakup di dalamnya tamatsil (patung-patung). Di dalam bahasa dikatakan
tashawir adalah tamatsil.
Menggambar yang dilarang
Syara’ telah mengharamkan menggambar sesuatu yang di
dalamnya terdapat ruh, seperti manusia, binatang dan burung. Sama saja, apakah
gambar tersebut pada kertas, kulit, pakaian, perkakas, perhiasan, uang, atau
lainnya. Semuanya adalah haram. Karena, sekedar menggambar sesuatu yang di
dalamnya terdapat ruh adalah haram, pada barang apa pun gambar ini dibuat.
Sedangkan menggambar sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat ruh, maka itu
boleh, tidak ada larangan di dalamnya. Syara’ telah menghalalkan menggambar
pohon, gunung, bunga, dan lainnya yang di dalamnya tidak terdapat ruh.
Pengharaman menggambar sesuatu yang di dalamnya
terdapat ruh tetap dengan nash-nash syar’i.
- Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: “Ketika Nabi saw. melihat gambar-gambar yang ada di dalam Rumah (Ka’bah), beliau tidak masuk sampai memerintahkan untuk menghapusnya.”
- Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Lalu Rasulullah saw. masuk dan melepasnya. Aisyah berkata: “Lalu aku memotongnya menjadi dua bantal. Dan beliau dulu bersandar pada keduanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
- Dalam lafadz Ahmad: “Lalu aku melepasnya dan memotongnya menjadi dua sandaran (bantal). Sungguh aku telah melihat beliau bersandar pada salah satu dari keduanya, sedang padanya terdapat gambar.”
- Muslim dan Bukhari mengeluarkan dari hadits Aisyah, dia berkata: “Rasulullah saw. memasuki ruanganku sedang aku telah menutup sebuah sahwah (semacam rak) milikku dengan qiram yang padanya terdapat gambar-gambar. Ketika beliau melihatnya, beliau melepaskannya, sedang wajah beliau telah berwarna (marah). Beliau berkata: “Wahai Aisyah, manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan Allah.” Qiram adalah tabir tipis yang padanya terdapat warna-warna, atau tabir yang padanya terdapat garis-garis atau lukisan.
- Dalam hadits Muslim, diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: “Rasulullah tiba dari perjalanan, sedang aku telah menutup pintuku dengan durnuk yang padanya terdapat kuda yang memiliki sayap. Maka beliau menyuruhku untuk melepasnya.” Durnuk adalah sejenis kain.
- Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menggambar sebuah gambar, maka Allah akan mengazabnya dengan gambar tersebut pada hari kiamat, sampai dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh).”
- Dia juga mengeluarkan melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan.”
- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mendatanginya lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah menggambar gambar-gambar ini dan membuat gambar-gambar ini. Maka berilah fatwa padaku tentangnya.” Ibnu Abbas berkata: “Mendekatlah padaku.” Lalu dia mendekat pada Ibnu Abbas, sampai Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepala laki-laki tersebut. Ibnu Abbas berkata: “Aku beritahukan kepadamu tentang apa yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Setiap penggambar ada di dalam neraka. Kepada setiap gambar yang digambarnya diberikan jiwa. Gambar tersebut menyiksanya di jahanam. Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa yang tidak memiliki jiwa.’”
- Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jibril as. mendatangiku lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah mendatangimu tadi malam. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk memasuki rumah yang kamu ada di dalamnya kecuali bahwa di dalam rumah tersebut terdapat patung seorang laki-laki, di dalam rumah tersebut terdapat qiram berupa tabir yang padanya terdapat gambar-gambar, dan di dalam rumah tersebut terdapat anjing. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon, perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak, dan perintahkanlah agar anjing tersebut dikeluarkan.” Lalu Rasulullah saw. melakukan itu. Dan qiram adalah tabir tipis dari wool yang memiliki warna.
10. Bukhari meriwayatkan melalui Abu Juhaifah,
bahwa dia membeli seorang budak ahli bekam, lalu dia berkata: “Sesungguhnya
Nabi saw. melarang harga darah, harga anjing, dan pendapatan pelacur. Dan
beliau melaknat pemakan riba dan orang yang mewakilkannya, pembuat tatto dan
orang yang minta dibuatkan, serta penggambar.”
Hadits-hadits ini secara keseluruhan memuat perintah
untuk meninggalkan menggambar dengan perintah yang tegas. Ini adalah dalil
bahwa menggambar adalah haram. Dan ini umum, mencakup semua gambar. Sama saja,
gambar yang memiliki bayangan atau tidak memiliki bayangan. Dan sama saja,
gambar sempurna atau separuh. Tidak ada perbedaan dalam pengharaman menggambar
antara gambar yang memiliki bayangan dan gambar yang tidak memiliki bayangan,
serta antara gambar sempurna yang mungkin hidup dan gambar separuh yang tidak
mungkin hidup. Semuanya haram, berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas.
Juga, karena hadits Ibnu Abbas tentang Rumah menunjukkan bahwa gambar-gambar
yang ada di Ka’bah adalah yang dilukis dan tidak memiliki bayangan. Karena,
Rasul tidak memasukinya sampai gambar-gambar tersebut dihapus. Dan hadits
Aisyah menunjukkan bahwa tabir tersebut padanya terdapat gambar yang tidak memiliki
bayangan.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. mengirim Ali dalam sebuah
sariyyah. Beliau berkata kepadanya: “Janganlah kamu meninggalkan sebuah
patung kecuali kamu hancurkan, tidak pula sebuah gambar kecuali kamu hapus, dan
tidak pula sebuah kuburan yang dimuliakan kecuali kamu ratakan dengan tanah.”
Di sini beliau menyebutkan kedua jenis: yang memiliki
bayangan yaitu patung, dan yang tidak memiliki bayangan yaitu gambar yang
dihapus. Jadi, pembedaan antara yang memiliki bayangan dan yang tidak memiliki
bayangan tidak benar dan tidak memiliki dasar. Juga, karena keberadaan gambar
tersebut bisa hidup atau tidak bisa hidup bukanlah ‘illah pengharaman. Dan
tidak ada dalil yang mengecualikan itu dari pengharaman.
Menggambar yang diperbolehkan
Sedangkan bolehnya menggambar sesuatu yang tidak
terdapat ruh di dalamnya, berupa pohon, gunung, dan lainnya, itu
disebabkan karena pengharaman dalam hadits-hadits yang mengharamkan menggambar
dibatasi dengan gambar yang di dalamnya terdapat ruh. Ini adalah batasan (qaid)
yang diakui dan memiliki mafhum yang diterapkan. Dan mafhumnya adalah bahwa
gambar yang di dalamnya tidak terdapat ruh tidak haram. Benar bahwa sebagian
hadits berbentuk muthlaq (tanpa batasan). Tapi sebagian yang lain berbentuk
muqayyad (memiliki batasan). Dan kaedah Ushul menyatakan bahwa yang muthlaq
disamakan dengan yang muqayyad. Sehingga, pengharaman hanya berlaku pada gambar
yang di dalamnya terdapat ruh, yaitu manusia, binatang dan burung. Sedangkan
selain itu, tidak haram menggambarnya, tapi boleh.
Di samping itu, pembolehan menggambar sesuatu yang di
dalamnya tidak terdapat ruh, berupa pohon dan lainnya, telah disebutkan dengan
jelas dalam hadits-hadits tersebut. Dalam hadits Abu Hurairah: “Maka
perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk
pohon.” Ini berarti bahwa patung pohon tidak apa-apa. Dan dalam hadits
Ibnu Abbas: “Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa
yang tidak memiliki jiwa.”
Hadits-hadits yang mengharamkan menggambar tidak
memiliki ‘illah. Tidak terdapat penjelasan ‘illah menggambar dengan illah apa
pun. Karena itu, janganlah mencari ‘illah untuknya. Sedangkan apa yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar berupa perkataan Rasul: “Hidupkanlah apa yang
telah kalian ciptakan”, apa yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas: “sampai
dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh)”, dan
apa yang terdapat hadits Aisyah tentang gambar: “manusia yang paling
pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan
Allah”; semua itu tidak disebutkan sebagai penjelasan ‘illah. Lafa
dz-lafadz dan kalimat-kalimat yang ada dalam hadits-hadits ini darinya tidak
dapat dipahami ‘illah. Segala yang terjadi hanyalah bahwa Rasul menyerupakan
menggambar dengan penciptaan, dan para penggambar dengan Sang Pencipta. Dan
penyerupaan (tasybih) bukanlah penjelasan ‘illah dan tidak bisa menjadi ‘illah.
Karena, penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain tidak menjadikan sesuatu
yang diserupai (musyabbah bih) sebagai ‘illah bagi sesuatu yang diserupakan
(musyabbah). Dia hanya menjadi penjelasan baginya. Dan penjelasan bagi sesuatu
bukanlah ‘illah baginya.
Apakah ada Illatnya?
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa
menggambar haram karena di dalamnya terdapat perbuatan menyamai penciptaan
Allah. Karena, Allah Ta’ala menciptakan manusia, binatang dan burung, serta
menciptakan pohon, gunung dan bunga-bunga. Dengan demikian, ‘illah ini terdapat
juga dalam pohon, gunung, bunga-bunga dan lainnya. Karena, semuanya adalah
ciptaan Allah juga. Sehingga, menggambarnya haram, karena adanya ‘illah di
dalamnya. Dan ‘illah berputar bersama hukum, dari segi ada dan tidaknya.
Padahal, nash-nash menyebutkan pembolehan menggambar pohon dan semua yang di
dalamnya tidak terdapat ruh. Dengan demikian, menggambar manusia dan binatang
haram berdasarkan nash-nash yang mengharamkannya, bukan karena adanya ‘illah
tertentu. Dan menggambar pohon, gunung dan semua yang di dalamnya tidak
terdapat ruh boleh, tidak ada larangan tentangnya, berdasarkan nash-nash yang
membolehkannya.
Hukum Fotografi[2]
Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa semua
persoalan gambar dan menggambar, yang dimaksud ialah gambar-gambar yang dipahat
atau dilukis, seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Adapun masalah gambar yang diambil dengan menggunakan
sinar matahari atau yang kini dikenal dengan nama fotografi, maka ini adalah
masalah baru yang belum pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. dan
ulama-ulama salaf. Oleh karena itu apakah hal ini dapat dipersamakan dangan
hadis-hadis yang membicarakan masalah melukis dan pelukisnya seperti tersebut
di atas?
Orang-orang yang berpendirian, bahwa haramnya gambar
itu terbatas pada yang berjasad (patung), maka foto bagi mereka bukan apa-apa,
lebih-lebih kalau tidak sebadan penuh. Tetapi bagi orang yang berpendapat lain,
apakah foto semacam ini dapat dikiaskan dengan gambar yang dilukis dengan
menggunakan kuasa? Atau apakah barangkali illat (alasan) yang telah ditegaskan
dalam hadis masalah pelukis, yaitu diharamkannya melukis lantaran menandingi
ciptaan Allah –tidak dapat diterapkan pada fotografi ini? Sedang menurut
ahli-ahli usul-fiqih kalau illatnya itu tidak ada, yang dihukum pun (ma’lulnya)
tidak ada.
Jelasnya persoalan ini adalah seperti apa yang pernah
difatwakan oleh Syekh Muhammad Bakhit, Mufti Mesir: “Bahwa
fotografi itu adalah merupakan penahanan bayangan dengan suatu alat yang telah
dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel). Cara semacam ini sedikitpun tidak ada
larangannya.”
Karena larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar
yang semula tidak ada dan belum dibuat sebelumnya yang bisa menandingi
(makhluk) ciptaan Allah. Sedang pengertian semacam ini tidak terdapat pada
gambar yang diambil dengan alat (tustel).”
Sekalipun ada sementara orang yang ketat sekali dalam
persoalan gambar dengan segala macam bentuknya, dan menganggap makruh sampai
pun terhadap fotografi, tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka
pun akan memberikan rukhshah terhadap hal-hal yang bersifat darurat karena
sangat dibutuhkannya, atau karena suatu maslahat yang mengharuskan, misalnya
kartu pendliduk, paspor, foto-foto yang dipakai alat penerangan yang di situ
sedikitpun tidak ada tanda-tanda pengagungan. atau hal yang bersifat merusak
aqidah. Foto dalam persoalan ini lebih dibutuhkan daripada melukis dalam
pakaian-pakaian yang oleh Rasulullah sendiri sudah dikecualikannya.
Subjek Gambar
Yang sudah pasti, bahwa subjek gambar mempunyai
pengaruh soal haram dan halalnya. Misalnya gambar yang subjeknya itu menyalahi
aqidah dan syariat serta tata kesopanan agama, semua orang Islam
mengharamkannya.
Oleh karena itu gambar-gambar perempuan telanjang,
setengah telanjang, ditampakkannya bagian-bagian anggota khas wanita dan
tempat-tempat yang membawa fitnah, dan digambar dalam tempat-tempat yang cukup
membangkitkan syahwat dan menggairahkan kehidupan duniawi sebagaimana yang kita
lihat di majalah-majalah, surat-surat khabar dan bioskop, semuanya itu tidak
diragukan lagi tentang haramnya baik yang menggambar, yang menyiarkan ataupun
yang memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, toko-toko dan digantung di
dinding-dinding. Termasuk juga haramnya kesengajaan untuk memperhatikan
gambar-gambar tersebut.
Termasuk yang sama dengan ini ialah gambar-gambar
orang kafir, orang zalim dan orang-orang fasik yang oleh orang Islam harus
diberantas dan dibenci dengan semata-mata mencari keridhaan Allah. Setiap
muslim tidak halal melukis atau menggambar pemimpin-pemimpin yang anti Tuhan,
atau pemimpin yang menyekutukan Allah dengan sapi, api atau lainnya, misalnya
orang-orang Yahudi, Nasrani yang ingkar akan kenabian Muhammad, atau pemimpin
yang beragama Islam tetapi tidak mau berhukum dengan hukum Allah; atau orang-orang
yang gemar menyiarkan kecabulan dan kerusakan dalam masyarakat seperti
bintang-bintang film dan biduan-biduan.
Termasuk haram juga ialah
gambar-gambar yang dapat dinilai sebagai menyekutukan Allah atau
lambang-lambang sementara agama yang samasekali tidak diterima oleh Islam,
gambar berhala, salib dan sebagainya.
Barangkali seperai dan bantal-bantal di zaman Nabi
banyak yang memuat gambar-gambar semacam ini. Oleh karena itu dalam riwayat
Bukhari diterangkan; bahwa Nabi tidak membiarkan salib di rumahnya, kecuali
dipatahkan.
Ibnu Abbas meriwayatkan:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a. w.
pada waktu tahun penaklukan Makkah melihat palung-patung di dalam Baitullah,
maka ia tidak mau masuk sehingga ia menyuruh, kemudian dihancurkan.” (Riwayat
Bukhari).
Tidak diragukan lagi, bahwa patung-patung yang
dimaksud adalah patung yang dapat dinilai sebagai berhala orang-orang musyrik
Makkah dan lambang kesesatan mereka di zaman-zaman dahulu.
Ali bin Abu Talib juga berkata:
“Rasulullah s.a.w. dalam (melawat) suatu jenazah ia
bersabda: Siapakah di kalangan kamu yang akan pergi ke Madinah, maka jangan
biarkan di sana satupun berhala kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan ada
satupun kubur (yang bercungkup) melainkan harus kamu ratakan dia, dan jangan
ada satupun gambar kecuali harus kamu hapus dia? Kemudian ada seorang laki-laki
berkata: Saya! Ya, Rasulullah! Lantas ia memanggil penduduk Madinah, dan
pergilah si laki-laki tersebut. Kemudian ia kembali dan berkata: Saya tidak
akan membiarkan satupun berhala kecuali saya hancurkan dia, dan tidak akan ada
satupun kuburan (yang bercungkup) kecuali saya ratakan dia dan tidak ada
satupun gambar kecuali saya hapus dia. Kemudian Rasulullah bersabda:
Barangsiapa kembali kepada salah satu dari yang tersebut maka sungguh ia telah
kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w.” (Riwayat Ahmad; dan
berkata Munziri: Isya Allah sanadnya baik)
Barangkali tidak lain gambar-gambar/patung-patung yang
diperintahkan Rasulullah s.a.w. untuk dihancurkan itu, melainkan karena
patung-patung tersebut adalah lambang kemusyrikan jahiliah yang oleh Rasulullah
sangat dihajatkan kota Madinah supaya bersih dari pengaruh-pengaruhnya. Justru
itulah, kembali kepada hal-hal di atas berarti dinyatakan kufur terhadap ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Hukum Memiliki Gambar
Ini yang berkaitan dengan menggambar itu sendiri.
Sedangkan memiliki gambar-gambar yang telah digambar, jika itu di tempat yang
disediakan untuk ibadah, seperti masjid, mushala, dan lainnya, maka haram
secara pasti. Dasarnya adalah apa yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas
bahwa Rasul saw. menolak untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar yang ada
padanya dihapus. Ini adalah perintah yang tegas untuk meninggalkan, sehingga
menjadi dalil pengharaman.
Sedangkan memiliki gambar-gambar tersebut di tempat
yang tidak disediakan untuk beribadah, seperti rumah, perpustakaan, sekolah,
dan lainnya, di dalamnya terdapat perincian dan penjelasan. :
- Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka makruh, tidak haram.
- Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka boleh, tidak apa-apa.
Pemakruhan di tempat yang di dalamnya terhadap
penghormatan terhadapnya adalah berdasarkan hadits Aisyah bahwa Rasul
melepas tabir yang padanya terdapat gambar. Juga berdasarkan
hadits Abu Hurairah bahwa Jibril menolak untuk memasuki rumah karena di
dalamnya terdapat patung, gambar dan anjing. Sedangkan bahwa pemakruhan
ini khusus bagi gambar yang diletakkan di tempat yang di dalamnya terdapat
penghormatan terhadapnya, dan bahwa tidak apa-apa jika gambar tersebut
diletakkan di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadapnya, adalah
karena hadits Aisyah menyebutkan bahwa Rasul melepas tabir yang padanya
terdapat gambar ketika gambar itu ditegakkan, dan bahwa beliau bersandar pada
bantal yang padanya terdapat gambar. Juga, karena dalam hadits Abu
Hurairah, Jibril berkata kepada Rasul: “perintahkanlah agar tabir
tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak”. Ini
menunjukkan bahwa larangan mengarah pada meletakkan gambar di tempat yang di
dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya, dan tidak mengarah pada memiliki
gambar tersebut.
Sedangkan bahwa meletakkan gambar di tempat yang di
dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh bukan haram, adalah
disebabkan karena larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut tidak
disertai qarinah yang menunjukkah penegasan, seperti ancaman terhadap orang
yang memiliki gambar, atau celaan terhadapnya, atau semacamnya, sebagaimana
yang disebutkan dalam larangan menggambar. Larangan tersebut hanyalah
berupa perintah untuk meninggalkan. Dan terdapat hadits-hadits lain yang
melarang memiliki patung dan membolehkan memiliki gambar yang dilukis. Ini
menjadi qarinah bahwa larangan tersebut tidak tegas.
Dalam hadits Abu Thalhah milik Muslim diriwayatkan
dengan lafadz: “Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat
anjing atau gambar.”
Dalam riwayat lain dari jalan yang diriwayatkan oleh
Muslim, beliau bersabda: “Kecuali lukisan di baju”.
Ini menunjukkan pengecualian gambar yang dilukis di
baju. Mafhumnya adalah bahwa malaikat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat
gambar yang dilukis di baju. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits-hadits
larangan lainnya, maka dia menjadi qarinah bahwa perintah untuk meninggalkan di
sini tidaklah tegas. Dengan demikian, memiliki gambar di tempat yang di
dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh, bukan haram.
[1]. Taqiyyuddin An-Nabhani, Kepribadian
Islam – Jilid II, bab Tashwir. Terjemah : Rizki S Saputro
[2]. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar