PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN AHLI KITAB
DALAM PERSPEKTIF FIQIH
Menyikapi Argumentasi Kaum Liberal
(bag. III)
Ahli Kitab Pada Zaman Sekarang
Dari penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani pada masa sekarang ini yang
masih berpegang kepada kitab Taurat dan Injil, maka mereka digolongkan Ahli
Kitab walaupun dalam kitab-kitab mereka terdapat banyak penyimpangan, mengalami
banyak penambahan dan pengurangan. Akan tetapi lain halnya, jika ada diantara
mereka ada yang berpegang kepada kitab selain Injil dan Taurat. Mereka tidak
digolongkan sebagai Ahli Kitab, walaupun agama mereka Yahudi atau Nasrani.
Sebagaimana halnya dikalangan Yahudi ada yang berpegang kepada kitab Talmud.[1]
Adapun mengenai diperbolehkannya menikahi
wanita-wanita Ahli Kitab pada masa sekarang ini, para ulama berselisih
pendapat. Sebagian ulama memperbolehkan dengan berbagai persyaratan,
diantaranya mereka harus mentauhidkan Allah –subhaanahu wa ta’ala-, dan
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Jika ia dari kalangan Yahudi,
maka ia harus mengikuti ajaran Musa –‘alaihi salaam-, dan jika dari
kalangan Nasrani, maka ia harus mengikuti ajaran Isa –‘alaihi salaam-.
Jika seorang wanita Nasrani mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga,
maka ia tidak halal untuk dinikahi. Begitu pula jika seorang wanita Yahudi
mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah, maka tidak dihalalkan untuk
menikahinya, karena ia musyrik.[2]
Walaupun demikian, jumhur ulama berpendapat
tentang diperbolehkan menikahi mereka secara mutlak tanpa adanya persyaratan.
Barangsiapa yang beragama Ahli Kitab dan menasabkan kepada mereka, maka
dihalalkan bagi seorang Muslim untuk menikahinya walaupun mereka mengakui trinitas
(Allah salah satu dari yang tiga).[3] Masalah ini akan dibahas secara lebih
mendetail pada pembahasan berikutnya, dengan berbagai pendapat ulama dan
alasan-alasan mereka. Sehingga akan lebih jelas, apakah wanita-wanita Yahudi
dan Nasrani pada masa sekarang ini diperbolehkan untuk dinikahi atau tidak?.
Hikmah Diperbolehkan bagi Muslim Menikah dengan Wanita Ahli Kitab
Timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa dalam
al-Qur’an, Allah –subhaanahu wa ta’ala- memperbolehkan bagi seorang
Muslim untuk menikah dengan wanita dari kalangan Ahli Kitab dan mengharamkan
wanita non-Ahli Kitab? Dan juga mengharamkan bagi seorang muslimah menikah
dengan laki-laki kafir, baik dari kalangan Ahli Kitab ataupun non-Ahli Kitab?.
Ternyata dalam hal ini ada alasan tersendiri, diantaranya:
- Untuk menghilangkan tabir (pembatas-pembatas) yang memisahkan antara Ahli Kitab dengan Islam.[4] Hal ini dikarenakan dengan menikahi wanita-wanita mereka, maka akan terjadi internalisasi dan hubungan antara keduanya.
- Dalam pernikahan tentu terwujud adanya suatu pergaulan dan kedekatan antara anggota keluarga. Sehingga hal itu akan membuka kesempatan bagi seorang isteri dari Ahli Kitab untuk mempelajari Islam lebih dalam dan mengetahuinya lebih jauh tentang hakekat Islam itu sendiri dan pokok-pokok ajarannya. [5]
- Seorang Muslim beriman akan kebenaran ajaran yang dibawa oleh semua rasul dan beriman kepada agama-agama yang memiliki dasar-dasar ajaran agama yang benar. Sehingga hal ini tidak akan membahayakan bagi seorang wanita Ahli Kitab dalam aqidahnya (keyakinannya) dan perasaannya. Adapun sebaliknya, orang kafir tidak beriman terhadap kebenaran agama Islam, maka hal ini sangat membahayakan jika seorang muslimah menikah dengan laki-laki kafir karena kemungkinan besar suami yang kafir tersebut akan mempengaruhi isterinya agar masuk ke dalam agamanya yang kafir. Dan secara fitrahnya, seorang wanita memiliki sifat mudah terpengaruh dan selalu tunduk, sehingga dalam pernikahannya akan menyakitkan perasaannya dan merusak aqidahnya.[6]
Maka diharapkan bagi seorang Muslim yang memiliki
keinginan untuk menikahi wanita dari kalangan Ahli Kitab agar tidak menjadikan
alasan-alasan yang bersifat duniawi semata sebagai tujuan utamanya, akan tetapi
yang lebih penting dari itu semua adalah menjadikan alasan-alasan di atas
sebagai tujuan dari pernikahannya. Sehingga disamping mendapatkan keuntungan
yang bersifat duniawi, iapun akan mendapatkan keuntungan yang bersifat ukhrawi.
Begitu juga bagi seorang muslimah, agar tidak menghalalkan sesuatu yang telah
diharamkan Allah –subhaanahu wa ta’ala- dengan alasan cinta kepada
seseorang. Akan tetapi dirinya harus melihat jauh dampak yang akan terjadi dari
sebuah pelanggaran terhadap syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah –subhaanahu
wa ta’ala-. Baik dampak yang akan terjadi di dunia berupa kehinaan dan
rusaknya aqidah, ataupun yang akan terjadi di akherat kelak berupa adzab yang
pedih. Semoga Allah –subhaanahu wa ta’ala- selalu melindungi kita dari
itu semua. Hanya kepada-Nyalah kita mengharapkan pertolongan dan meminta
perlindungan. (bersambung ke bag. IV)……………..
Bekasi, 19 April 2010.
[1]Talmud terbagi menjadi dua, yakni yang
pertama adalah kitab Misnah sebagai nash asli (matan) adalah
kepingan-kepingan undang-undang yang dibuat oleh bangsa Yahudi untuk
kepentingan mereka sendiri, guna melengkapi kitab Taurat. Kitab ini disusun
oleh Judah Hanasi pada tahun 190 – 200 SM. Dan yang kedua adalah kitab Gemara
yang tersusun atas Gemara Jerusalem yang berisi rekaman diskusi para tokoh
agama (Hakhom) yang ada di Palestina dan Gemara Babilon yang berisi rekaman penafsiran
Misnah oleh para tokoh agama Yahudi di Babilon. [Lihat: Zhafarul Islam Khan, Talmud
dan Ambisi Yahudi, terj. Mustafa Mahdamy, (Surabaya: Pustaka Anda, 1985),
cet Ke-1, hal. 10]
[2]Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, asy-Syarhu
al-Mumti’ ‘ala Zaadi al-Mustaqni’, (Daar al-Anshar, 2003 M), cet. Ke-1, juz
V hal. 193.
[3]Ibid., hal. 194.
[4]Al-Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,
(Beirut: Daar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet. Ke-4, jilid II, hal. 91.
[5]Ibid.
[6]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu
al-Islami wa Adilatuhu, (Beirut: Daar al-Fikr, 1418 H/1997 M), cet. Ke-4,
juz IX, hal. 6654.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar