Menyikapi Argumentasi
Kaum Liberal (bag. IV-selesai)
Artikel
bagian yang ke empat ini merupakan inti dari pembahasan sebelumnya. Semoga hal
ini dapat menambah wawasan kita mengenai hukum pernikahan antara seorang
Muslimah dengan laki-laki kafir. Sehingga kita bisa mengetahui manakah pendapat
yang benar yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush
Shalih, dan itulah harus kita ikuti dan mana pendapat yang salah, dan itulah
yang harus kita jauhi, atau kalau perlu kita bantah dan kita luruskan.
Sungguh mengejutkan ketika salah
seorang pengusung paham Liberal yang juga berstatus menjadi dosen di UIN
Jakarta, Abdul Muqsith Ghazali mengatakan, “Menurut saya, pernikahan tersebut
(antara Muslimah dengan laki-laki Khatolik) tetap sah dengan berlandaskan pada
dua argumen berikut. Pertama, tidak dijumpai di dalam al-Qur’an sebuah dalil
yang secara tegas melarang pernikahan seperti itu. Sementara perihal pelarangan
atas pernikahan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim justru berada di
lingkungan buku-buku tafsir al-Qur’an dan tidak ada dalam al-Qur’an itu
sendiri. Hemat saya, ketiadaan dalil yang melarang itu adalah dalil bagi
bolehnya pernikahan tersebut. Dalam bahasa ushul fiqih dikatakan, ‘adamud
dalil huwa ad-dalil’ (tidak ada dalil adalah sebuah dalil).”[1]
Begitu juga dengan seorang dosen
tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, “Doktor” Zainul Kamal, dia mengatakan,
“Bahwa teks al-Qur’an secara eksplisit tidak ada yang melarang (pernikahan
antara laki-laki non-Muslim dengan Muslimah). Hanya saja mayoritas ijtihad
ulama, termasuk di Indonesia, tidak memperbolehkannya meski secara teks tidak
ada larangan. Makanya, yang memperbolehkan memiliki landasannya dan yang
melarang juga memiliki landasan tertentu. Larangan Muslimah menikah dengan laki-laki
non-Islam itu tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Ini merupakan pendapat sebagian
ulama.”[2]
Sungguh mereka telah berdusta dan
pernyataan-pernyataan mereka hanya mendasarkan pada hawa nafsu semata. Sungguh
tidaklah pantas bagi orang-orang seperti mereka berbicara tentang hukum-hukum
yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Masih banyak syubhat-syubhat
yang semisal dengan pernyataan-pernyataan di atas yang pada intinya mereka
ingin menghancurkan bangunan pondasi Islam ini dengan cara mengotak-atik
dalil-dalil qath’i, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Perlu diketahui bahwa pernikahan
antara seorang Muslimah dengan laki-laki Ahlu Kitab akan membawa implementasi
yang serius baik dalam tinjauan hukum Islam ataupun akibat-akibat lain yang
menyertainya. Apabila pasangan suami isteri memiliki perhatian secara serius
dan normal terhadap agamanya, tentulah akan terjadi tarik menarik dan sikap
saling mempengaruhi dalam urusan agama anak-anak mereka, sehingga hal itu akan
membuat bingung anak-anak. Kecuali jika keduanya menganggap bahwa agama
bukanlah suatu yang prinsip, sehingga membebaskan anak-anaknya memilih agama
apa yang disukainya. Namun sikap ini akan menunjukkan ketidakseriusan keduanya
dalam beragama atau wujud kurangnya keyakinan bahwa agamanyalah yang paling
benar.
Lalu bagaimana syari’at
memandang hal tersebut? Karena hal ini merupakan masalah yang sangat serius.
Jika pernikahan tersebut tidak sah, maka hubungan antar keduanya bukan hubungan
suami istri. Sehingga anak yang dilahirkan dianggap tidak memiliki wali dan
tidak berhak pula mendapatkan warisan karena tidak ada waris-mewarisi antara
muslim dan kafir. Sekaligus kita akan membuktikan, benarkah
pernyataan-pernyataan para pengusung paham Liberal di atas, atau hanya omong
kosong belaka. Agar permasalahan ini lebih jelas, maka kita akan membahasnya
satu persatu secara terperinci.
HUKUM MUSLIMAH MENIKAH DENGAN AHLI KITAB
Para ulama, baik salaf maupun
khalaf tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka dalam menghukumi
pernikahan antara seorang Muslimah dengan laki-laki kafir, baik dari kalangan
Ahli Kitab atau non-Ahli Kitab. Mereka bersepakat bahwa pernikahan seperti ini
hukumnya haram secara mutlak.[3]
Mereka menyandarkan kepada
banyak dalil, diantaranya:
1. QS. al-Baqarah : 221. Allah –subhaanahu
wa ta’ala- berfirman,
وَلاَ
تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“…dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” [4]
Tentang ayat ini, Imam Ibnu
Katsir –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan, “Janganlah kalian (orang Mukmin)
menikahkan laki-laki musyrik dengan wanita-wanita yang beriman.“[5]
2. QS. al-Mumtahanah : 10. Allah
–subhaanahu wa ta’ala- berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka. Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.“ [6]
Dalam mengomentari ayat
di atas, Imam Ibnu Katsir –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan,
“Ayat ini mengharamkan pernikahan antara wanita-wanita Muslimah dengan
laki-laki musyrik, yang mana pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan
menikah dengan wanita Muslimah.”[7]
Imam al-Qurtubi –rahimahullaahu
ta’ala-, dalam tafsirnya beliau menjelaskan ayat ini dengan mengatakan
bahwa, “Allah tidak menghalalkan seorang Mukminah (dinikahi) oleh laki-laki
kafir, begitu pula tidak diperbolehkan seorang Mukmin menikahi wanita musyrik.”[8]
Begitupula dengan ulama yang
lain, mereka menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan pengharaman pernikahan
antara seorang Muslimah dengan laki-laki kafir.[9]
Maka telah jelas bahwa dua ayat
di atas secara gamblang menjelaskan bahwa wanita Muslimah tidak halal
(haram) bagi orang-orang kafir. Barangkali karena kelompok “Islam” Liberal
tidak mengkafirkan non-Muslim, sehingga mereka mengatakan bahwa tidak ada ayat
yang melarang wanita Muslimah dinikahi oleh non-Muslim.
Sehingga jika mereka mengatakan
bahwa larangan pernikahan beda agama itu terjadi jika seorang Muslimah menikah
dengan lelaki kafir atau musyrik, sedangkan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nashrani) tidak termasuk mereka. Maka dalam hal ini kita
katakan bahwa, “Ini adalah sebuah kedustaan yang besar.“,
karena Allah –subhaanahu wa ta’ala- sendiri telah menegaskan dalam
banyak dengan jelas bahwa Ahli Kitab, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani
adalah KAFIR. Sebagaimana
tercantum dalam firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ
فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang
yang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka
Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.“ [10]
Lebih jelas lagi dijelaskan
dalam firman-Nya,
لَقَدْ كَفَرَ
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah
orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putera
Maryam.”[11]
Dalam ayat yang pula, Allah –subhaanahu
wa ta’ala- menegaskan,
لّقَدْ كَفَرَ
الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
“Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”.[12]
Perlu diperhatikan pula bahwa
Abu Hurairah –radhiyallaahu ‘anhu- pernah meriwayatkan dari Rasulullah
–shallaallaahu ‘alahi wa sallam-, bahwa beliau bersabda,
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ
وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا
كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
“Demi Dzat yang jiwa
Muhammad di tangan-Nya. Tidak ada seorangpun dari umat ini baik Yahudi maupun
Nasrani yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman
kepada ajaranku, kecuali dia termasuk ahli neraka.“[13]
Imam asy-Syathibi –rahimahullaahu
ta’ala- berkata, “Kami melihat dan mendengar bahwa kebanyakan Yahudi dan
Nashrani mengetahui tentang agama Islam ini, dan bahkan mengetahui banyak
tentang berbagai permasalahan lain, baik dalam masalah yang ushul
(pokok), maupun yang furu’ (cabang). Akan tetapi
semua itu tidak bermanfaat bagi mereka selama mereka tetap berada di atas
kekafiran. Hal ini sudah menjadi kesepakatan ahli Islam.”[14]
3. Imam Ibnu Katsir –rahimahullaahu
ta’ala- menukil riwayat dari Imam Ibnu Jarir –rahimahullaahu ta’ala-,
bahwa Jabir bin Abdullah mengatakan, bahwasanya Rasulullah –shallaallaahu ‘alahi
wa sallam- bersabda,
نتزوج نساء أهل الكتاب
ولا يتزوَّجون نساءَنا
“Kami (diperbolehkan)
menikahi wanita Ahli Kitab, dan mereka (yaitu laki-laki Ahli Kitab) tidak
diperbolehkan menikahi wanita-wanita kami (Muslimah).“ [15]
Umar bin al-Khattab
–radhiyallaahu ‘anhu- menguatkan riwayat di atas, beliau mengatakan, “Seorang
Muslim diperbolehkan menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani
tidak diperbolehkan menikahi wanita Muslimah.“[16]
4. Kaidah fiqih.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
الأَصْلُ
فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ.
“Pada dasarnya dalam masalah
farji (kemaluan) itu hukumnya haram.”
Sehingga apabila dalam masalah farji
wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat) antara yang halal dan haram,
maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.[17]
Setelah menyebutkan beberapa
dalil yang menunjukkan pengharaman pernikahan Muslimah dengan laki-laki Ahli
Kitab, maka di sana ada beberapa hikmah yang bisa kita petik, diantaranya:
a. Allah telah menetapkan bahwa
seorang suami berkedudukan sebagai pemimpin (qawwam) bagi wanita dalam
rumah tangga.[18] Sehingga dirinya memiliki hak untuk
mengatur dan mengarahkan isterinya, dan seorang isteripun berkewajiban untuk
mentaati perintah suami tersebut selama masih dalam koredor kebaikan, bukan
kemaksiatan kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Apabila seorang
Muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab, maka dalam kondisi seperti ini
seorang Muslimah memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki kafir, baik dalam hal tauhid, keimanan ataupun harga diri. Hal ini
berarti berarti bertentangan dengan ketetapan Allah –subhaanahu wa ta’ala-
di atas. Selain itu juga seorang suami yang berstatus kafir tersebut akan
berkuasa terhadap isterinya dan menjadi wali (penolong/pelindung) bagi isterinya.
Padahal Allah –subhaanahu wa ta’ala-dengan jelas telah melarang bagi
orang Islam, baik laki-laki maupun wanita untuk mengambil orang kafir sebagai
wali. Sebagaimana dalam firman-Nya,
لاَّ يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin.” [19]
b. Agar seorang Muslimah tidak
terjerumus kepada kekafiran. Hal ini dikarenakan:
- Seorang suami kemungkinan besar akan mengajak isterinya yang Muslimah kepada diennya.
- Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa secara fitrah, seorang wanita memiliki sifat mudah terpengaruh dan selalu tunduk, sehingga dengan mudah seorang isteri tersebut akan mengikuti dien suaminya yang kafir. Dan kemungkinan besar dirinya akan terputus dari Islam dan peradabannya selama-lamanya.
c. Berdasarkan firman Allah –subhaanahu
wa ta’ala- dalam QS. al-Baqarah : 221, bahwa suami yang kafir akan
berusaha mengajak isterinya yang Muslimah kepada kekafiran. Hal ini berarti
mengajak seorang isteri kepada jurang neraka.[20] Sehingga dapat dipastikan bahwa dia
juga akan menggiring anak-anaknya ke jurang yang sama. Adapun Allah –subhaanahu
wa ta’ala-menutup celah-celah itu semua, sebagaimana disebutkan dalam
firman-Nya,
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ
لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“…dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
yang beriman. “[21]
d. Sebagaimana telah dijelaskan
juga, bahwa laki-laki Ahli Kitab tidak memiliki keinginan untuk mengetahui dien
Islam ini secara dalam, bahkan enggan untuk mengakuinya. Disamping itu dirinya
akan mendustakan al-Qur’an, dan menghinakannya, serta mengingkari risalah
Rasulullah –shallaallaahu ‘alahi wa sallam-. Sehingga hal ini akan
menimbulkan banyak permasalahan besar diantara anggota keluarga, dan menjadi
faktor terbesar rusaknya sebuah rumah tangga.[22]
Lalu bagaimana dengan kasus yang
terjadi sebagaimana pada saat ini, dimana tidak sedikit Muslimah menikah dengan
laki-laki kafir. Maka dalam hal ini ulama bersepakat bahwa pernikahan tersebut
harus dibatalkan, keduanya wajib untuk dipisahkan dan tidak diperbolehkan
melanjutkan hubungan suami-isteri.[23] Hal ini disebabkan pernikahan seperti
ini termasuk pernikahan fasid (rusak) dan haram.[24]
Mudah-mudahan dengan penjelasan
di atas, semakin membuka wacana kita akan kebobrokan dan kesesatan
individu-individu yang berada dalam Jaringan Islam (baca: Iblis[25]) Liberal dengan pemahaman-pemahaman
mereka.
Mudah-mudahan mereka mampu
memahami sabda Rasulullah –shallallaahu ‘alahi wa sallam-,
من قال في القرآن بغير
علم فليتبوأ مقعده من النار.
“Barangsiapa yang berbicara
tentang (ayat-ayat) al-Qur’an tanpa ilmu, maka silakan memesan tempat duduknya
di neraka.“
Mudah-mudahan Allah –subhaanahu
wa ta’ala- memberikan petunjuk kepada mereka. Karena barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi. (QS. al-A’raf :
178).
Akan tetapi jika mereka masih
menyebarkan pemahaman-pemahaman mereka yang bobrok itu di tengah-tengah umat,
maka jangan lupa bahwa Allah –subhaanahu wa ta’ala- berfirman,
قُلْ جَاء الْحَقُّ
وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Katakanlah, ‘Kebenaran
telah datang dan yang bathil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan
mengulangi.’“. (QS. Saba’ : 49). Wallaahu musta’an.
InsyaAllah pembahasan setelah
ini mengenai Hukum Seorang Muslim Menikah dengan Wanita Ahlu Kitab.
Akan tetapi penulis sengaja tidak memasukkan materi ini untuk membantah argumen
kaum Liberal, karena pembahasan di atas merupakan inti dari permasalahan
pernikahan beda agama. Demikian.
Bekasi, 08 Mei 2010;
11:20.
[1] Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam
Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2008), cet. Ke-4, hal.179.
[2] Ibid., hal. 167.
[3] Al-Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,
(Beirut: Daar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet Ke-4, jilid II, hal. 94.
[4] QS. al-Baqarah : 221.
[5] Ibnu Katsir, op.cit., juz I,
hal. 348.
[6]Qs. al-Mumtahanah: 10.
[7]Ibnu Katsir, Tafsiiru al-Qur’aani
al-‘Adziim, 1418 H/1998 M), cet. Ke-2, juz IV, hal. 450. Lihat pula:
Al-Qurtubi, al-Jaami’ lie Ahkaami al-Qur’an, (Kairo: Daar al-Hadits:
1423H/2002M), jilid IX, hal. 315.
[8] Al-Qurtubi, op.cit., jilid IX,
hal. 315.
[9] Lihat: At-Thabari (w. 310H), Jaami’u
al-Bayaan ‘an Ta’wiili al-Qur’an, (Kairo: Daar as-Salaam,
1428H/2007M), cet. Ke-2, jilid X, hal. 7997; Abu Hayyan (w.754H), al-Bahru
al-Muhith fie at-Tafsiir, (Beirut: Daar al-Fikr, 2005), juz X, hal. 158;
As-Sa’di (w.1376H), Taisiir al-Kariim ar-Rahman, (Beirut: Mu’assasah
ar-Risaalah, 1423H/2002M), cet. Ke-1, hal. 857.
[10]QS. al-Bayyinah : 6.
[11] QS. al-Maidah : 17 dan 72.
[12] QS. al-Maidah : 73.
[13]HR. Muslim, dalam syarahnya karya Imam
an-Nawawi –rahimahullaahu ta’ala-, dalam kitab: Keimanan, kitab:
Kewajiban Beriman kepada Syari’at Nabi Muhammad -shallallaahu ‘alahi wa sallam-
bagi Seluruh Manusia dan Terhapusnya Semua Millah (Ajaran-Ajaran Lain) dengan
Millahnya (Nabi Muhammad), (hadits no. 384).
[14]Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqaat,
(Kairo: Daar al-Hadits, 1427 H/2006 M), jilid I, hal. 44-45.
[15]Ibnu Katsir, op.cit., juz I,
hal. 347. Imam Ibnu Jarir –rahimahullaahu ta’ala- mengatakan,
“Walaupun isnad (perawi-perawi) dalam hadits tersebut masih diperselisihkan
keshahihannya, akan tetapi hal itu sudah menjadi kesepakatan umat.”
[16] Hadits shahih isnad,
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir. Lihat: Ibnu Katsir, op.cit., juz I,
hal. 347.
[17]Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa
al-Nadha’ir, (Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 1424 H/2003 M), hal. 88.
[18] Lihat: QS. an-Nisaa’ : 34.
[19] QS. Ali Imran : 28. Lihat pula: QS.
Ali Imran : 118; QS. an-Nisaa’ : 144; QS. al-Maidah : 51; QS. al-Mumtahanah :
1.
[20]Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu
al-Islami wa Adilatuhu, (Beirut: Daar al-Fikr, 1418 H/1997 M), cet. Ke-4,
hal 6652.
[21] QS. an-Nisaa’ : 141.
[22] Al-Sayyid Sabiq, op.cit.,
jilid II, hal. 94.
[23] DR. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal
fie Ahkaami al-Mar’ah, (Beirut: Muassasah ar-Risaalah, 1413H/1993M), cet.
Ke-1, jilid IX, hal.133.
[24] Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, Ensiklopedi
Islam AL-KAMIL, terj. Ahmad Munir Badjeber, M.Ag. dkk., (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2007), cet Ke-2, hal. 1001.
[25] Kenapa Iblis? Karena sifat-sifat
mereka seperti Iblis –laknatullah ‘alaihi-, yaitu enggan, durhaka dan
takabbur kepada Rabb-nya. Ketika Allah berfirman kepada para malaikat,
“Sujudlah kamu semua kepada Adam”, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia
berkata, “Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?”
(QS. al-Isra’ : 61). Persis sebagaimana orang-orang Liberal ini, ketika
dikatakan kepada mereka, “Pahamilah al-Qur’an ini sesuai yang dimaksudkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.” Atau dikatakan, “Berimanlah kalian (kepada Allah
dan Rasul-Nya) sebagaimana orang-orang yang telah beriman.” Pasti mereka akan
menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?”
Ingatlah, bahwa sesungguhnya merekalah yang bodoh, akan tetapi mereka tidak
mengetahui. (QS. al-Baqarah: 13). Atau mereka akan menjawab dengan
jawaban-jawaban yang semisal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar