Penyaluran kebutuhan seksual
merupakan salah satu bentuk saling membutuhkan antara makhluk yang berpasangan.
Penyaluran kebutuhan seksual bagi manusia berguna untuk menyehatkan tubuh,
meningkatkan kualitas jantung, merangsang paru-paru, membersihkan pikiran dari
problema yang mengganggu, serta menimbulkan ketenangan dan kepuasan batin.[1]
Salah satu upaya menyalurkan naluri seksual bagi
manusia Allah SWT menetapkan suatu jalan yang disebut dengan pernikahan.
Melalui pernikahan manusia tidak saja dapat menyalurkan nafsu seks, tetapi juga
membentuk keluarga sakinah serta meneruskan dan memelihara keturunan yang dapat
menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas permukaan bumi.(Q.S. al-Rum :
21).
Terjadinya pekawinan antara seorang laki-laki dan
perempuan menyebabkan hubungan mushaharah[2] yang mempunyai konsekuensi
dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan kerabat dari masing-masing
pasangan, di antaranya adalah mertua, ibu tiri, menantu, dan anak tiri. (Q.S.
Al-Nisa‟ : 22-23)
Namun dalam kehidupan sehari-hari terjadi
penyelewengan dalam menyalurkan naluri seksual, seperti dengan perzinahan,
homoseksual, lesbian dan sodomi (liwath).[3] Menanggapi penyelewengan seksual secara
sodomi, ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Malikiyah berpendapat
bahwa sodomi tidak menyebabkan mahram mushaharah, berbeda dengan ulama
Hanabilah menyatakan bahwa perbuatan liwath atau sodomi dapat menyebabkan
adanya mahram mushaharah.[4]
Penulis ingin mengetahui lebih jauh apa alasan ulama
Hanabilah menyatakan sodomi dapat menimbulkan mahram mushaharah
sedangkan sodomi merupakan salah satu hubungan seks yang tidak sesuai dengan
ketentuan naluri manusia. Disamping itu sodomi itu merupakan perbuatan keji dan
termasuk dosa besar.
HUBUNGAN MUSHAHARAH KARENA SODOMI DALAM FIQH HANABILAH[5]
Ulama sepakat, akad nikah yang sah dan hubungan seks
yang halal dapat menimbulkan hubungan mushaharah. Namun hubungan seks
yang menyimpang yang dilakukan di luar akad nikah yang sah seperti perzinaan
dan homoseksual; sodomi (liwath), dan lesbian, ulama berbeda pendapat
menetapkan sebagai larangan perkawinan karena hubungan mushaharah.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena tidak samanya
para ulama dalam menetapkan sebab-sebab mahram mushaharah. Menurut Ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah hubungan seks haram seperti zina tidak dapat
menimbulkan hubungan mushsharah. Berbeda dengan ulama Hanafiyah dan
Hanabilah perbuatan zina dapat menimbulkan hubungan mushaharah.
Meskipun Ulama Hanafiyah dan Hanabilah sependapat
menetapkan perbuatan zina dapat menimbulkan mushaharah, namun mereka
berbeda dalam menetapkan perbuatan sodomi sebagai sebab terjadinya hubungan mushaharah.
Menurut Ulama Hanabilah sodomi dapat menyebabkan terjadinya hubungan mushaharah,
yang notabenenya terjadinya larangan perkawinan dengan wanita kerabat dari
masing-masing pihak. Sementara Ulama Hanafiyah tidak menjadikan perbuatan
sodomi sebagai penyebab hubungan mushaharah.
Perbedaan pendapat Ulama Hanafiyah dan Ulama Hanabilah
terjadi karena berbeda mereka dalam mendefenisikan zina. Ulama Hanafiyah
mengemukakan defenisi zina dengan persetubuhan yang dilakukan pada faraz (qubul)
perempuan yang bukan miliknya dan bukan pula menyerupai milik (syubhat)[6], Sementara Ulama Hanabilah
mendefenisikan perzinaan adalah orang yang melakukan perbuatan jahat (fahisyah)
dengan cara menyetubuhi pada qubul ataupun anus (dubur).[7] Kedua defenisi ini mempunyai
implementasi yang berbeda, bagi Ulama Hanafiyah hubungan seks yang dilakukan
pada selain qubul perempuan tidak dinamakan zina. Lain lagi dengan Ulama
Hanabilah, mereka memasukkan perbuatan homoseks (sodomi/liwath) kedalam
kategori perbuatan zina. Sebagaimana yang mereka ungkapkan dalam kitab
al-Mughniy:
“Hubungan seks haram menimbulkan mahram sebagaimana
hubungan seks secara halal dan syubhat. Artinya, terjadinya hubungan mushaharah
karena melakukan hubungan seks haram. Oleh karena itu apabila seorang laki-laki
berzina dengan seorang perempuan maka perempuan yang berzina tersebut haram
melakukan perkawinan dengan bapak laki-laki (partner zinanya) dan anak
laki-laki dari laki-laki yang berzina. Begitu juga ibu dan anak perempuan dari
wanita yang berzina diharamkan bagi laki-laki yang berzina. Hal ini disamakan
dengan orang yang melakukan hubungan seks yang syubhat dan hubungan seks yang
halal.”[8]
Menurut Ulama Hanabilah pendapat ini juga ditetapkan
oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal berdasarkan riwayat Jama’ah.[9] Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengungkapkan
dalam kitab al-mughniy, bahwa tidak ada bedanya melakukan zina melalui qubul
atau dubur. Sesungguhnya hubungan keharaman terjadi apabila seseorang telah
telah mempunyai istri dan budak perempuan, begitu pula kaitan mahram dengan
melakukan zina. Sehingga bila seorang laki-laki melakukan sodomi dengan anak
laki-laki, maka terjadi keharaman kawin; dengan ibu dan anak perempuan yang
disodomi, begitu sebaliknya haram ibu dan anak perempuan yang menyodomi bagi
laki-laki yang disodomi.[10]
Pendapat inilah agaknya yang dipakai oleh ulama
Hanabilah, bahwa terjadinya hubungan mushaharah akibat hubungan seks
haram, baik pelaku melakukan hubungan melalui qubul maupun dubur.
Pada gilirannya mereka menetapkan terjadinya hubungan mushaharah bagi
pelaku sodomi, karena sodomi merupakan persetubuhan yang dilakukan seorang
laki-laki dengan laki-laki lain melalui dubur. Guna menegaskan pendapatnya,
Ulama Hanabilah mengemukakan alasan berdasarkan firman Allah SWT surat An-Nisa’
ayat 22 yang berbunyi :
وَلاَ
تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah
dinikahi oleh ayahmu, kecuali pada masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh.” (Q.S. An-Nisa’ : 22)
Mereka berpendapat makna nikah (na-ka-ha) dalan
ayat adalah watha’ atau setubuh. Kemudian firman Allah yang
mengungkapkan “perbuatan keji dan biadab“ adalah watha’, indikasi ini
mereka pahami dalam hadits yang berbunyi: “Allah tidak memandang kepada seorang
laki-laki yang melihat pada faraj anak perempuannya”. Selanjutnya Hadits
lain yang diriwayatkan oleh Jurjani dari Wahab ibn Manbah: “Dilaknati orang
yang melihat faraj wanita dan anak perempuannya”. Dari kedua hadits ini
mereka pahami perbuatan keji yang dimarahi oleh Allah adalah watha’.
Sehingga mereka memberlakukan keumuman ayat bahwa orang yang melakukan watha’
(setubuh) dilarang mengawini istri bapaknya, sekalipun persetubuhan melalui
sodomi.[11]
Hikmah terjadinya hubungan mushaharah karena sodomi
menurut Ulama Hanabilah adalah untuk menambah berat hukuman bagi orang yang
melakukan sodomi atau merupakan balasan baginya sehingga dia tidak boleh kawin
dengan keluarga lawan sodomimya.[12]
Ibn Qayyim al-Jauziyyah salah satu pengikut Mazhab
Hanbali, mengkritik pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam Hanafi menurutnya
menetapkan perbuatan zina sebagai penyebab terjadinya mahram mushaharah
merupakan hilah yang batal secara syara’. Lebih jauh ia menegaskan
mengqiyaskan perbuatan zina dengan nikah tidak sah, sebab antara keduanya
mempunyai perbedaan. Allah SWT telah menetapkan mahram mushaharah sebagai
bagian dari nasab. Ini semua merupakan nikmat dan kebaikan yang diberikan oleh
Allah pada hamba Nya. Maka tidak akan timbul hubungan mushaharah karena
perbuatan haram (zina) atau sodomi. Sebagaimana tidak ada terjadi hubungan
nasab akibat perbuatan zina. Dengan demikian jika terjadi hubungan musharah
karena perbuatan haram (zina), maka sebaliknya terjadi pula hubungan nasab
karena perbuatan haram (zina), sebab mushaharah bagian dari nasab. Kesimpulan
semacam ini menurut Ibn Qayyim adalah batal. Selanjutnya Ibn Qayyim menegaskan
maksud firman Allah SWT (Q.S. 4:22) adalah nikah bukan lawan dari nikah.
Demikian juga tidak ada disebutkan dalam al-Qur’an makna nikah hanya untuk
watha’, tetapi selalu dikaitkan dengan akad.
Menanggapi pandangan Hanabilah tentang sebab-sebab
terjadinya hubungan mushaharah, penulis sependapat dengan pendapat Ibn Qayyim
al-Jauziyyah bahwa alasan yang dikemukakan terlalu mengada-ngada atau merupakan
hilah saja, boleh saja mereka memakai makna nikah dengan arti watha’ atau akad,
karena lafaz nikah adalah lafaz musytarak.[13] Namun bila ada indikasi yang lain atau
dalil lain yang memalingkan kepada salah satu makna, maka seharusnya
dipalingkan kepada makna yang dituju. Dalam persoalan hubungan mushaharah
akibat watha’ haram atau sodomi, menurut hemat penulis tidak dapat
dijadikan penyebab terjadinya mahram mushaharah, dengan alasan untuk mengetahui
pengertian nikah yang dimaksud firman Allah SWT (Q.S. 4:22) perlu diketahui asbab
al-nuzul ayat tersebut. Surat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa
yang terjadi masa Nabi SAW, yaitu larangan Nabi SAW kepada anak Abu Qais Ibn
Aslat, mengawini istrinya setelah Abu Qais meninggal.[14]
Sehingga dapat dipahami bahwa, salah satu hikmah Allah
SWT mengharamkan nikah karena perkawinan adalah untuk mengharamkan istri bapak,
sebagaimana halnya haram perkawianan karena nasab yaitu untuk penghormatan
kepada nasab itu sendiri, dan ini merupakan nikmat Allah SWT. Dengan demikian
rahasia pengharaman tidak ditemukan dalam watha’ haram atau sodomi, yang
jelas-jelas dibenci dan dimurkai Allah SWT, serta mendapat dosa besar. Alasan
ini dikuatkan dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi: “Sesuatu yang haram
tidak dapat mengharamkan yang halal, sebenarnya yang bisa mengharamkan itu
adalah perkawinan”.[15] Lebih tegas dapat dinyatakan
bahwa makna hakiki yang dituju dari lafaz nikah adalah akad. Oleh karena itu
tidak pantas perbuatan sodomi dapat menyebabkan hubungan mushaharah.
[1] . Ruqyah Waris Maqsood, Mengantar
Remaja ke Syurga, (Bandung: al-Bayan, 1997), hal.342
[2] . Mushaharah adalah hubungan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang mengakibatkan terhalangnya perkawinan,
baik secara mandiri atau secara bersama-sama. Lihat lebih lanjut, Abd Rahman
al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Arba’ah, (Mesir: al-Tijariyah
al-Kubra, 1969), juz IV, h. 125. Muhammad Jaward Mughniyah, al-Ahwal
al-Syakhshiyah, (Beirut: Dar al-Ilmi al-Malayin, 1964), cet. 1, h. 54.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Jilid. II, h.
63.
[3] . Liwath atau Sodomi adalah
persetubuhan antara sesama lelaki. Lebih lanjut, Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 31
[4] . Abd Rahman al-Jaziriy, Kitab
al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, 1969),
juz V hal.143.
[5] . Fiqh Hanabilah atau mazhab Hambali,
merupakan mazhab keempat setelah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i.
Mazhab Hambali dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibaniy. Sebagai
seorang mujtahid Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam menetapkan (mengistinbathkan)
hukum suatu persoalan mempunyai usul mazhab tersendiri. Ia mempunyai lima dasar
sebagai bahan dalam menetapkan hukum, pertama, nash (al-Qur’an dan
Sunnah Nabi SAW) Kedua, Fatwa Sahabat, Ketiga, Hadis Mursal, baik
mursal sahabi maupun mursal tabi’in. Keempat, Hadis Dha’if, Kelima,
Qiyas, istishab, marsalah al-mursalah, ‘urf, dan lainnya
[6] . Abd Qadir Audah, al- Tasyri’ wa
al-Jana’I al-Islamiy, (Kairo: Dar al-Qurubah, 1963), Juz II, h. 349.
[7] . Ibn Qudamah, al-Mughniy,
(Riyadh: Maktabah al-Riyadah al-Hadisah, t.th), Jilid X, h. 181.
[8] . ibid, Jilid IX, h. 482
[9]. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh
Imran Ibn Hushain, Haran, ‘Atha’, Thaus, Mujahid, Sya’abi, Naha’i, Ishaq.
Berbeda dengan riwayat Ibn Abbas, menurutnya hubungan seksual haram tidak
menyebabkan hubungan mushaharah. Lihat ibid,
[10] . ibid, h. 484
[11] . Ibid, h. 482
[12] . Abd Rahman al-Jaziriy, Kitab
al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, 1969),
juz V hal.143.
[13] . Lafaz musytarak adalah suatu lafaz
yang menunjukkan kepada dua atau banyak makna yang berbeda. Lihat al-Zuhailiy, Ushul
al-Fiqh al-Islamiy, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1986), h. 338. Ali Hasbullauh, Ushul
al-Tasyrik al- Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), h. 263.
[14] . Hadis berbunyi: Abu Qais Ibn Aslat
ketika meninggal dunia, isterinya dipinang oleh anaknya sendiri yaitu Qais.
Lalu isteri itu berkata: “engkau kuanggap sebagai anakku sendiri, dan engkau
merupakan putra terbaik bagi kaummu. Tunggu dulu, aku akan datang ke Rasulullah
SAW untuk minta izin. Lalu ia datang pada Rasulullah minta izin seraya berkata:
Kuanggap dia sebagai anak, maka bagaimana pendapatmu, Rasul menjawab kembalilah
kerumahmu. Maka tidak lama kemudian turunlah surat an-Nisa‟ ayat 22 ini. Al-Subuniy, loc.cit.
[15] . Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah,
(Kairo: Dar al-Hadis, t.th), Juz I, h. 549.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar