Mani
Mani adalah cairan berwarna putih
yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi
dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani dapat keluar dalam
keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun dalam keadaan
tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Keluarnya mani menyebabkan
seseorang harus mandi besar / mandi junub.
Najiskah Air Mani
Dalam permasalahan najis atau sucinya air mani, ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa air
mani itu najis, sebagaimana pendapat Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Malik.
Sebagian ulama yang lain berpendapat air mani itu suci, sebagaimana pendapat
Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad.
Dari dua pendapat tersebut, yang rajih -insya’ Allah-
adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa air mani itu suci. Hal ini
didasarkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ yang diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh, di antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ
أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا
فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
“Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari
pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan
menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Muslim)
Dalam lafazh lain:
لَقَدْ كُنْتُ أَ�*ُكُّهُ يَا
بِسًا بِظُفْرِي مِنْ ثَوْبِهِ (رواه مسلم
“Dahulu aku mengerik air mani yang telah kering dengan
kukuku dari pakaian Rasulullah.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa air mani merupakan
sesuatu yang suci karena :
1. Perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ membersihkan
air mani yang telah kering tersebut hanya mengerik dengan kukunya. Kalau
seandainya air mani adalah sesuatu yang najis, maka tidak cukup mensucikannya
hanya dengan mengeriknya.
2. Sikap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
menunda pembersihan air mani yang menimpa pakaiannya hingga kering, juga
menunjukkan bahwa air mani itu suci. Kalau seandainya najis, maka Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan segera membersihkannya, sebagaimana
kebiasaan beliau di dalam mensikapi benda-benda najis, seperti peristiwa
tertimpanya pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam oleh air kencing
anak kecil. Dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim yang artinya; Dia (Ummu Qais binti Mihshan -red)
datang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang
bayi yang belum memakan makanan, kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam mendudukkannya di kamarnya, kemudian bayi tersebut kencing di pakaian
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka segera Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam meminta air dan menyiramkannya pada pakaiannya.
Begitu pula peristiwa seorang Badui yang kencing di
masjid, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu
yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang dipilih
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
Sementara itu, cara membersihkan air mani adalah
dengan dua cara:
1. Boleh dicuci dengan air, sebagaimana hadits ‘Aisyah
yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh:
كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِي ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاةِ فِي ذَلِكَ
الثَّوْبِِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ (متفق عليه
“Bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
mencuci air mani, kemudian keluar shalat dengan mengenakan pakaian tersebut,
sementara aku melihat adanya bekas cucian tersebut.”(Mutafaq Alaihi)
2. Dengan mengeriknya (dengan kuku), sebagaimana dalam
hadits yang telah lalu jika air mani telah kering. Dan juga boleh dicuci
walaupun telah kering.
Sedangkan darah haidh adalah sesuatu yang najis
hukumnya dan cara mencucinya pun berbeda (dengan cara mencuci air mani) serta
cenderung lebih ekstra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Asma’ binti
Abi Bakr yang kurang lebih artinya:
“Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata: ‘Salah satu dari kami telah tertimpa
pakaiannya oleh darah haidh, apa yang bisa dia lakukan?’ Berkata Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa salam: ‘Dikerik (dengan kukunya), kemudian dikucek
dengan air, kemudian dibasuh/disiram dengan air, kemudian boleh baginya shalat
dengan memakai pakaian tersebut.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari hadits tersebut, diketahui bahwa darah haidh
adalah darah yang najis, karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mencucinya dengan cara yang ekstra ketat sebelum digunakan
pakaian tersebut untuk shalat. Bahkan dalam riwayat hadits Ummu Qais yang
diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mencucinya dengan air yang telah dicampur dengan daun
bidara. Sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitabnya
Al-Jaami’ Ash-Shahih (1/481) dengan judul ‘Bab Tata Cara Mencuci Darah Haidh’.
Dengan ini telah jelaslah perbedaan hukum air mani
dengan darah haidh serta cara mencuci keduanya.
Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
الأصل وجوب تطهير الثياب من الأنجاس
قليلها وكثيرها فإذا ثبت جواز حمل قليله في الصلاة ثبت ذلك في كثيره فإن القياس لا
يفرق بينهما
Artinya: “Pada asalnya wajib membersihkan pakaian dari
semua najis sedikitnya dan banyaknya, maka apabila diperbolehkan yang sedikit
di dalam shalat maka diperbolehkan juga banyaknya, karena qiyas tidak
membedakan antara keduanya”. (Majmu Al-Fatawa:21/589)
Namun yang lebih utama adalah membersihkan air mani
dengan air karena meski suci mani adalah sesuatu yang menjijikkan, seperti
halnya dahak.
Sebagaimana ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ النُّخَام
وَالْبُزَاقِ أَمِطْهُ عَنْكَ بِإِذْخِرَةٍ .
Artinya: “Dia (mani) itu seperti dahak dan ludah,
hilangkanlah dengan idzkhirah (sejenis rumput yang harum baunya).”
(Dikeluarkan oleh Ad-Daruquthny di dalam As-Sunan 1/225 no:448 , cet.
Mu’assasatur Risalah)
Oleh karena itu terkadang ‘Aisyah radhiyallahu
‘anhaa membersihkan air mani tersebut dengan air, dari Sulaiman bin Yasaar rahimahullah
beliau berkata:
سألت عائشة عن المني يصيب الثوب فقالت
كنت أغسله من ثوب رسول الله صلى الله عليه و سلم فيخرج إلى الصلاة وأثر الغسل في
ثوبه بقع الماء
Artinya: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang air
mani yang mengenai pakaian, maka beliau menjawab: Dahulu aku mencucinya dari
pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau pergi shalat
dan bekas cucian di pakaiannya berupa noda air”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Berkata Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma:
إذا احتلمت في ثوبك فأمطه بإذخرة أو
خرقة ولا تغسله إن شئت إلا أن تقذر أو تكره أن يرى في ثوبك
“Apabila kamu mimpi basah dan air mani mengenai
pakaianmu maka usaplah dengan idzkhirah (sejenis rumput) atau secarik kain dan
jangan dicuci kalau kamu mau, kecuali kalau kamu merasa jijik dan kamu tidak
suka kalau hal itu terlihat pada pakaianmu”(Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf 1/368 no: 1438)
Berkata At-Tirmidzy rahimahullahu:
وَحَدِيثُ عَائِشَةَ أَنَّهَا
غَسَلَتْ مَنِيًّا مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- – لَيْسَ
بِمُخَالِفٍ لِحَدِيثِ الْفَرْكِ لأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ الْفَرْكُ يُجْزِئُ فَقَدْ
يُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ لاَ يُرَى عَلَى ثَوْبِهِ أَثَرُهُ
Artinya: “Dan hadist ‘Aisyah dimana beliau mencuci
mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
bertentangan dengan hadist yang menyatakan bahwa ‘Aisyah menggosok mani
tersebut, karena meskipun bila digosok sudah mencukupi akan tetapi dianjurkan
untuk menghilangkan bekasnya” (Sunan At-Tirmidzy 1/201-202 )
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu:
أما المني فإنه طاهر لا يلزم غسل ما
أصابه إلا على سبيل إزالة الأثر فقط
“Adapun mani maka dia suci, tidak wajib mencuci apa
yang dikenainya kecuali hanya sekedar menghilangkan bekas saja” (Majmu’ Fatawa
wa Rasail Syeikh ‘Utsaimin 11/222 no:169 )
Wadi
Wadi adalah air putih kental yang keluar dari kemaluan
seseorang setelah kencing. Keluarnya air wadi dapat membatalkan wudhu. Wadi
termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan,
kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi terkena badan, maka cara
membersihkannya adalah dengan dicuci.
Madzi
Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini
bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika
seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau ketika
pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa diistilahkan dengan
foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini
tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani,
yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa
disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita,
meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air wadi,
hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib
mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian,
maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi
tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah terhadap seseorang yang pakaiannya
terkena madzi, “cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau
percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan). Keluarnya air madzi membatalkan
wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci
kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari Muslim)
Air madzi apabila keluar tidaklah wajib mandi
tapi hanya wajib untuk berwudhu dan membersihkan pakaian atau bagian tubuh yang
terkena madzi tersebut. Sebab madzi itu adalah merupakan najis
dan salah satu pembatal wudhu menurut kesepakatan para ulama. Dalil akan hal
ini adalah hadits ‘Ali bin Abi Tholib riwayat Bukhary Muslim, beliau
berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ
الْمِقْدَادَ أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
فَسَأَََََلَهُ فَقَالَ فِيْهِ الْوُضُوْءُ
“Saya adalah seorang lelaki yang
banyak keluar madzi maka saya perintahkan Al-Miqdad untuk bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (tentang hal
tersebut) maka ia pun bertanya padanya maka beliau menjawab: “wajib untuk
berwudhu”.
Lihat: Al-Ausath 1/134 karya Ibnul
Mundzir, Syarah Muslim 3/213, Al-Majmu‘
2/142 karya Imam Nawawi dan Al-I’lam 1/650 karya Ibnul
Mulaqqin.
Dalam keadaan yang diterangkan di atas tentang sebab
keluarnya madzi itu adalah hal yang normal tetapi setiap orang memiliki
tingkat kepekaannya yang berbeda dalam hal ini. Dan menjadi tidak normal
apabila ia air madzi tersebut keluar lebih dari biasa. Dan perlu
diketahui air ini tidak hanya keluar dari laki-laki tetapi wanita pun kadang
mengalami hal yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar