Pengertian fasik dan bid’ah
Secara bahasa fasik adalah الخروج
yaitu keluar, adapun yang di maksud istilah syar’I dari keluar di sini adalah
keluar dari keta’atan kepada Allah, mencangkup keluar secara keseluruhan
termasuk juga kepada orang kafir yang keluar dari keta’ayan kepada Allah
ataupun terhadap orang mukmin yang melakukan dosa besar. Fasik juga
terbagi menjadi dua fasik yang mengeluarkan pelakunya dari millah:
وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا
فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ
“Dan adapun orang-orang yang fasik
(kafir) maka tempat mereka adalah jahannam (QS. As-Sajadah: 20)”
Dan yang tidak mengeluarkannya dari millah seperti
pelaku maksiat sebagai mana firman Allah subhanahu wata’ala:
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ
رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats , berbuat fasik
dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan haji.(QS. Al-Baqaroh: 197)”[1]
Secara bahasa bid;ah adalah di ambil dari kata البدع
yaitu membuat sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada, sebagai mana firman
Allah subhanahu wata’ala:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi (QS.
Al-Baqoroh: 117)”
Apabila di katakana fulan melakukan hal yang bid’ah
maksudnya adalah yakni mengadakan suatu jlan yang baru yang tidak pernah ada
sebelumnya
Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu, bid’ah yang
merupakan suatu hal yang lazim yang hukumnya mubah dan bid’ah dalam
agama yang hukumnya haram, kemudian bid’ah dalam agama terbagi menjadi
dua yaitu, pertama, bid’ah qouliah dan I’tiqodiah. Kedua bid’ah
dalam ibadah seperti beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak di
syariatkan-Nya. Yang terjadi pada beberapa hal seperti yang terjadi dalam
aslu ibadah, tambahan dalam suatu ibadah, sifat ibadah, dan mengkhususkan waktu
dalam ibadah.[2]
Hukum sholat di belakang orang fasik
dan pelaku bid’ah
Di bolehkan bagi seseorang menjadi makmum di belakang
orang yang tidak di kenal, atau di anggap fasik dan ahli bid’ah, selama
kefasikan atau bid’ah yang yang di lakukannya tidak mengeluarkannya dari Islam.
Sebagai mana sabda Rasulullah kepada Abu Dzar ra,tentang para pemimpin yang
jahat yang selalu mengakhirkan sholat di luar batas waktunya:
صل الصلاة لوقتها ، فإن أدركتها معهم
فصل فإنها لك نافلة
“Kerjakanlah sholat pada waktunya
jika kamu mendapatkan sholat bersama mereka maka sholatlah, karena sholat
tersebut bagimu di hitung sebagai sholat sunnah (HR. Muslim. 1497)”
Hadits ini di kuatkan dengan hadits Abu Hurairah bahwa
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ، وإن
أخطئوا فلكم وعليهم
“Para imam itu sholat bersama
kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka dan apabila meraka
salah maka kalian mendapatkan pahala sedangkan mereka mendapatkan dosa (HR.
Bukhori. 694)”[3]
Ibnu Hajar asqolani menyebutkan bahwa yang di maksud
mendapatkan pahala di sini karena di kerjakan pada waktunya, ini juga sebagai
dalil bolehnya bermakmum pada orang yang fajir karena sesungguhnya kesalahan
(dosa) imam tidak akan berdampak pada makmum apabila ia benar. Az-Zuhri berkata
tidak melihat sholat di belakang pelaku dosa kecuali dalam keadaan darurat yang
tidak ada selain dia.[4]
IMAM YANG DI BENCI OLEH MAKMUM
Para ulama menyebutkan bahwa makruh hukumnya menjadi
imam yang di benci oleh makmum. Dasarnya adalah hadits riwayat Abu Umamah bahwa
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tiga orang yang sholatnya tidak
melampaui telinga-telinga mereka, yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya
hingga kembali, seorang istri yang bermalam sedangkan suaminya murka kepadanya,
dan imam yang di benci kaumnya (HR.Tirmidzi 3611) di shohihkan oleh Al-Albani
dalam shohih wa dha’if sunan at-Tirmidzi.”
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: ( صَلَّى
مُعَاذٌ بِأَصْحَابِهِ اَلْعِشَاءَ, فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم “أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ يَا مُعَاذُ فَتَّانًا? إِذَا
أَمَمْتَ اَلنَّاسَ فَاقْرَأْ: بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا, وَ: سَبِّحْ اِسْمَ
رَبِّكَ اَلْأَعْلَى, وَ: اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ, وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى”.
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
“Dari Jabir Ibnu Abdullah
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Muadz pernah sholat Isya’ bersama para shahabatnya
dan ia memperlama sholat tersebut. Maka bersabdalah Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam: “Apakah engkau mau wahai Muadz menjadi seorang pemfitnah? Jika
engkau mengimami orang-orang maka bacalah (washamsyi wadluhaaha), (sabbihisma
rabbikal a’laa), (Iqra’ bismi rabbika), dan (wallaili idzaa yaghsyaa).”(
Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim).
Dalam lafadz Bukhori di sebutkan
أَقْبَلَ رَجُلٌ بِنَاضِحَيْنِ لَهُ
وَقَدْ جَنَحَ اللَّيْلُ فَوَافَقَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ يُصَلِّى الْمَغْرِبَ ،
فَتَرَكَ نَاضِحَيْهِ وَأَقْبَلَ إِلَى مُعَاذٍ لَيُصَلِّىَ مَعَهُ ، فَقَرَأَ
مُعَاذٌ الْبَقَرَةَ ، أَوِ النِّسَاءَ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ
“Seorang lelaki menghadap kedua
kebunnya (untuk menyiramnya) sedangkan malam telah larut, kemudian dia
menjumpai Muadz sedang sholat, maka meninggalkan penyiraman untuk mengikuti
Muadz sholat, sedang Muadz membaca surat Al-Baqoroh dan An-Nisa kemudian lelaki
itu pergi.
Yang di maksud dengan fitnah di sini adalah “Apakah
engkau menyiksa sahabat-sahabatmu dengan sholat yang panjang? Dan mengandung
larangan membuat para makmum benci karena bacaan yang panjang.[5]
Batasan-batasan yang di sebutkan oleh para ulama di
antaranya:
- Para makmum membenci imam karena alasan syar’I. misalnya makmum membenci imam karena terlalu cepat sehingga makmum sulit mengikutinya atau tidak bisa melaksanakan sholat dengan sempurna. Atau sebaliknya imam membaca surat-surat yang panjang di luar kewajaran padahal banyak makmum yang sakit dan tua serta lemah. Begitu juga karena sang imam mempunyai sifat sombong, otoriter, dan tidak mau mendengar nasihat orang lain, ataupun karena sang imam mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik di luar sholat seperti merokok, dan perbuatan buruk lainnya.
- Di benci oleh mayoritas jama’ah imam tersebut di benci oleh banyak orang atau mayoritas. Jika yang membenci hanya segelintir orang, seperti satu atau dua orang maka kebencian itu tidak di anggap.[6]
[1] Kitab
Tauhid Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan. 24-25
[2] Kitabut
Tauhid Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan. 100-101
[3] Tanya jawab
ringan dan aktual seputar sholat. Dr. Ahmad Zain an-Najah 163-164
[4] Fathul
Bari. Syarh Shohih Bukhori. Ibnu Hajar Atsqolani. Darr Maktabah Ilmiyah Beirut
Libanon. 238-239
[5] Subulus
salam Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shon’ani. 633-634
[6] Tanya jawab
ringan dan aktual seputar sholat. Dr. Ahmad Zain an-Najah 164-165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar