Pada dasarnya para ulama’ telah
sepakat mengenai bolehnya seorang anak zina untuk menjadi imam shalat ketika
tidak ada anak yang lahir dari jalur yang sah untuk menjadi imam shalat.
Akan tetapi mereka berselisih pendapat ketika anak
zina menjadi imam shalat sedangkan di sana terdapat anak yang sah, para ulama’
berselisih menjadi tiga pendapat :
- Anak hasil zina boleh menjadi Imam shalat secara mutlak tanpa pengecualian, ini adalah pendapat Madzhab Hanabilah. Dengan syarat para jama’ah meridhainya dan anak tersebut memiliki sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang imam.
Adapun dalil yang dipakai oleh mereka adalah sebagai
berikut :
Pertama, firman
Allah swt
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[1]
Kedua, mereka
berdalil dengan keumuman hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari sebgaimana berikut,
عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Dari Abi Mas’ud Al-Anshari ia berkata, Rasulullah saw
bersabda, “Hendaknya yang menjadi Imam bagi sebuah kaum adalah yang paling
baik bacaan Al-Qur’annya”[2]
Ketiga, berdasarkan
hadits Rasulullah saw dari Aisyah Radhiyallau anha, ia berkata,
ليس عليه من
وزر أبويه شيء
“Dia tidak menanggung dari dosa
kedua orang tuanya sedikitpun.”[3]
Keempat, dalil
berdasarkan logika, mereka berpendapat bahwasanya anak hasil zina adalah
merdeka, jika ia beragama Islam maka ia dihukumi sebagaimana anak yang lahir
dengan hasil pernikahan yang sah, maka dengan demikian ia diperbolehkan menjadi
imam shalat.
Kelima, berdasarkan
hadits Rasulullah saw
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : صلوا خلف من قال : “لا اله إلاالله”
Rasulullah saw bersabda, ”Shalatlah kalian di
belakang orang yang mengucapkan “La Ilaha Illallah”.[4]
- Hukum anak zina menjadi imam shalat adalah makruh, ini adalah pendapat Madzhab Hanafiyah dan sebagian dari Syafi’iyah. Adapun dalil yang di pakai oleh mereka adalah sebagai berikut :
Pertama, karena
shalat itu dilakukan atas dasar ilmu, sedangkan pada umumnya anak hasil zina
adalah anak yang bodoh karena tidak ada yang mendidik dan mengajarinya ilmu
syari’ah.
Kedua, karena
seorang Imam itu adalah merupakan amanah yang besar.
Imam Al-Aini berkata, “Dimakruhkan mengutamakan anak
zina untuk menjadi imam dari pada anak yang sah, karena anak zina tidak
memiliki ayah yang mendidik dan mengajarnya sehingga kebanyakan dari
mereka adalah bodoh, dan juga akan membuat para jama’ah kabur,
- Hukumnya tidaklah makruh apabila ia tidak menjadi Imam Rawatib, ini adalah pendapat Malikiyah dan Imam As-Syafi’i.[5] Sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, “Dimakruhkan menjadikan orang yang tidak diketahui bapaknya menjadi seorang imam, karena menjadi seorang imam adalah merupakan kedudukan yang mulia, namun diperbolehkan shalat dibelakang mereka (anak zina).
Malikiyah berpendapat demikian karena kedudukan
seorang imam adalah kedudukan yang tingi dan mulia, maka dimakruhkan bagi orang
yang mempunyai kekurangan yang kurang baik pada dirinya ( yaitu tidak punya
bapak) untuk menempati kedudukan tersebut.
Setelah memaparkan beberapa pendapat dari para ulama’
beserta dalilnya, maka pendapat yang lebih rajih dan mendekati kebenaran adalah
pendapat pertama, yaitu diperbolehkannya anak zina menjadi imam shalat apabila
telah memenuhi syarat-syarat sebagai imam. Dengan beberapa alasan :
- Lantaran kuatnya dalil yang dipakai pendapat pertama.
- Adanya nasab bukan merupakan syarat menjadi seorang imam, akan tetapi nasab hanya sekedar untuk mengetahui keturunan seseorang, bukan untuk keutamaan.
- Dalil-dalil yang dipakai pendapat yang kedua masih diperselisihkan dari beberapa segi.
- Adapun perkataan mereka yang menyebutkan bahwa apabila anak zina menjadi Imam maka akan memebuat jama’ah lari dan benci dari bermakmum darinya. Hal tersebut akan terjadi apabila aib seorang imam itu dari perbuatannya sendiri bukan karena perbuatan ayahnya atau orang lain.
- Mereka mengatakan bahwa mayoritas anak zina adalah bodoh karena mereka tidak mempunyai bapak, namun hal ini terbantah dengan keadaan anak yatim yang juga sama tidak mempunyai bapak, akan tetapi para ulama’ tidak berselisih pendapat tentang keimamannya, sebagaimana Raslulullah d yang juga merupakan anak yatim.
- Dalil yang dipakai pendapat ketiga kurang tepat, mereka mengatakan bahwa menjadi seorang imam adalah kedudukan yang tinggi dan mulia maka dimakruhkan mengutamakan anak zina untuk menjadi imam.” Hal ini terbantah dengan firman Allah swt yang menyebutkan bahwasanya seseorang bisa menjadi lebih mulia dan afdhol lantaran ketakwaan dan amal perbuatannya bukan karena nasab dan keturunan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[6]
Begitu juga dengan sabda Rasulullah r yang menyebutkan
tentang keutamaan amal seseorang, Rasulullah r bersabda,
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Artinya, Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah r
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta-harta
kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian dan amal-amal kalian.”[7]
[1] . QS. Al-Hujurat : 13.
[2] . HR. Muslim , Shahih Muslim Kitab “Masajid
dan Mawadhi’ shalat” Bab “Man Ahaqqu Bil Imamah” jil : 1 hal 465.
Hadits no.
[3] . HR. Baihaqi, “Sunan Kubra”,
Kitab “Iman” Bab “Ma jaa a fi walad az-Zina” jilid 10 hal 100.
[4] .HR. Daruquthni. Ali bin Amr “Sunan
Daruquthni” (Beirut Lebanon tahun 1424 H/2004 M) Jilid 2 hal 402 hadits no.
1762.
[5] . Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I “Al-Umm”
(Dar Al-Wafa’ Al-Manshurah tahun 1422 H/ 2001 M) Cet ke- 4 jilid 2 hal 326.
[6] . QS. Al-Hujurat : 13.
[7] . HR. Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar